News  

Ketum PBNU Gus Yahya: Selain Islamofobia di Kalangan Non Muslim, Ada Juga Kafirophobia di Kalangan Muslim

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mengatakan selain islamofobia atau rasa tidak suka pada umat Islam, juga terdapat kafirophobia atau rasa tidak suka terhadap pemeluk agama selain Islam.

Yahya menyebut islamofobia dan kafirophobia bersifat resiprokal atau saling berbalasan dan telah terjadi selama ratusan tahun. Hal ini Yahya kemukakan dalam webinar yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.

“Kalau di satu sisi kita sekarang melihat ada islamofobia dari arah nonmuslim kepada muslim, di sisi lain sebetulnya kita harus akui juga bahwa dari kalangan muslim ada kafirophobia juga,” kata Yahya, Rabu (30/3).

Yahya menjelaskan kedua gejala tersebut sudah mengendap dalam mentalitas masing-masing pemeluk agama selama berabad-abad, dan dimapankan dengan wacana keagamaan.

Menurutnya, umat Islam mewarisi kesadaran kafirophobia karena dalam sejarahnya dunia Islam berkonflik dengan dunia non-Islam. Salah satu contohnya adalah kerajaan Turki Usmani yang berkonflik dengan kerajaan Kristen di Eropa sepanjang 700 tahun.

Di belahan timur, kata Yahya, Dinasti Mughal terus berkonflik dengan umat Hindu di India, khususnya bagian utara.

“Kenapa kita punya yang seperti ini, baik di lingkungan nonmuslim ada islamofobia dan di lingkungan umat Islam ada kafirophobia. Karena memang kita mewarisi sejarah yang panjang,” ujarnya.

Menurut Yahya, kondisi dunia saat itu tak ubahnya seperti rimba raya persaingan identitas, termasuk agama. Setiap kerajaan membawa label identitas agama.

Gesekan ini kemudian memuncak pada terjadinya Perang Dunia I dan II yang mengakibatkan tragedi kemanusiaan. Namun, setelah itu, masyarakat dunia mulai sadar dan muncul wacana hak asasi manusia (HAM).

“Sehingga misalnya di India Utara hari ini tidak ada kuil Hindu yang berumur lebih dari 200 tahun karena semua sudah dimusnahkan oleh Dinasti Mughal ini,” tuturnya.

“Ini semua adalah sejarah yang kita warisi, sejarah yang berjalan ratusan tahun, yang kita warisi, yang sudah mengendap sebagai mindset kita sekarang,” kata Yahya.

Lebih lanjut, Yahya mengatakan terorisme bukanlah fenomena khas Islam. Menurutnya, terorisme merupakan respons terhadap dinamika yang sedang berlangsung.

Yahya mengatakan sepanjang sejarahnya, terorisme juga dilakukan kelompok dan penganut paham atau agama selain Islam seperti Komunis hingga Yahudi.

“Kita tahu terorisme merupakan respons terhadap dinamika yang berlangsung. Dan ini tidak khas Islam, ini tidak khas Islam,” kata Yahya.

Yahya mengatakan sepanjang sejarahnya, dunia mencatat aksi terorisme juga dilakukan organisasi kemerdekaan Irlandia, IRA atau Tentara Pembebasan Nasional Irlandia yang berlatar belakang Katolik.

Aksi terorisme juga dilakukan kelompok ‘merah’ di Italia yang memiliki latar belakang Komunis. Hal serupa juga dilakukan pejuang Palestina melakukan operasi dengan model yang sama.

“Ini juga dilakukan misalnya oleh kelompok Yahudi pada awal-awal upaya mereka untuk mendirikan negara Israel,” ujar Yahya.

Namun, kata Yahya, belakangan terorisme menjadi isu besar karena keseimbangan kekuatan global berubah. Di saat yang bersamaan, warisan konflik dan rasa permusuhan masa lalu masih membekas dalam mentalitas di setiap kelompok, termasuk Islam.

Menurut Yahya, hal ini terlihat dari deklarasi konsep hak asasi manusia (HAM) oleh Organisation of Islamic Cooperation (OIC) di Kairo pada 1990. Konsep ini berbeda dengan deklarasi HAM PBB pada 1948.

“Berarti di sini ada masalah dunia Islam dengan dunia selebihnya. Ada asumsi dunia Islam ini tidak harus terintegrasi dengan dunia selebihnya bagi satu tatanan bersama,” tuturnya.

Yahya mengungkap gesekan semacam ini tidak hanya terjadi di kelompok Islam. Umat agama lain seperti Hindu di India, Budha di Myanmar, dan Kristen di Eropa juga menunjukkan gejala serupa.

Karena itu, kata Yahya, mentalitas yang didukung wacana keagamaan perlu dikontekstualisasikan agar elemen yang melanggengkan permusuhan hilang. “Kita membutuhkan upaya untuk merekontekstualisasikan wacana keagamaan,” ujarnya. {cnn}