News  

Sederet Presiden Yang Tabrak Konstitusi Demi 3 Periode Jabatan, Umumnya Bermasalah

Wacana penambahan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bergaung kembali belakangan ini. Walaupun tidak sah menurut konstitusi Indonesia sekarang, sejumlah pihak masih menginginkan sang presiden menjabat untuk yang ketiga kalinya.

Pada abad 21, masa jabatan presiden umumnya dibatasi menjadi dua periode. Namun, jika seseorang ingin memperpanjang kekuasaan, salah satu modus yang bisa dilakukan adalah mengubah konstitusi.

Sayangnya, presiden yang secara tidak langsung atau langsung mengubah konstitusi, umumnya bermasalah. Terdapat banyak contoh penguasa problematis yang memperpanjang masa jabatan dan justru berdampak buruk.

Berikut deretan presiden yang berambisi memperpanjang masa jabatan menjadi tiga periode dengan mengubah konstitusi. Presiden-presiden ini umumnya memimpin rezim yang bermasalah.

Presiden Burundi Pierre Nkurunziza

Ketika Pierre Nkurunziza hendak maju kembali dalam pemilihan presiden (pilpres) Burundi 2015, ia telah menjalani dua periode sebagai presiden. Konstitusi Burundi melarang seorang presiden menjabat lebih dari dua periode.

Akan tetapi, partai pengusung Nkurunziza saat itu berargumen sang presiden bisa maju pilpres kembali karena periode pertamanya bukan hasil pemilu, melainkan ditunjuk parlemen.

Ketika Mahkamah Konstitusi Burundi memutuskan Nkurunziza bisa maju pilpres kembali pada 5 Mei 2015, demonstrasi besar-besaran pecah.

Sebelumnya, publik telah menunjukkan ketidakpuasan atas rezim Nkurunziza. Pada periode keduanya, sang presiden memimpin dengan represif dan kebebasan sipil dikekang.

Pada 2014, Nkurunziza bahkan melarang joging di luar ruangan karena dikhawatirkan menjadi ajang pertemuan politik terselubung.

Kebijakan represif Nkurunziza memicu protes besar-besaran. Pada 13 Mei 2015, elemen militer yang dipimpin Mayjen Godefroid Niyombare melakukan percobaan kudeta.

Akan tetapi, kudeta ini berhasil digagalkan. Respons rezim Nkurunziza pun berlangsung brutal. Tokoh oposisi dan aktivis dibunuh. Demonstran yang ditangkap dilaporkan disiksa serta diperkosa loyalis Nkurunziza.

Nkurunziza memenangi pemilihan presiden 2015. Namun, Burundi menjadi negara yang terisolasi karena komunitas internasional mengutuk tindakan represifnya.

Kekerasan terus meningkat hingga Uni Afrika berencana mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Burundi. Nkurunziza menolaknya.

Selama kericuhan dan tindakan represif Nkurunziza di sekitar pilres 2015, diperkirakan 1.700 warga tewas dan 390.000 kabur ke Rwanda atau Republik Demokratik Kongo.

Masa jabatan Nkurunziza berakhir pada 8 Juni 2020 karena ia meninggal dunia. Pemerintah menyebut penyebab kematiannya adalah serangan jantung. Namun, sejumlah kalangan menduga Nkurunziza mati karena Covid-19.

Presiden Guinea Alpha Conde

Sejak merdeka dari Prancis pada 1958, Guinea dipimpin oleh diktator yang memimpin rezim korup. Pada 2008, militer mengkudeta diktator Lansana Conte yang telah berkuasa sejak 1984.

Pada 2010, setelah melalui dua pemimpin interim, Guinea memilih presiden pertama melalui pemilu. Pilihan jatuh kepada Alpha Conde.

Konstitusi membatasi masa jabatan Conde selama dua periode. Namun, pada 2020, rezim Conde mengubah konstitusi untuk mengamankan periode jabatan ketiga. Tindakan ini memantik kontroversi dan protes besar-besaran.

Pilpres yang memperpanjang masa jabatan Conde diliputi kekerasan. Menurut laporan France24, kekerasan setelah hari pemilihan menewaskan setidaknya 10 orang.

Conde menangkapi tokoh-tokoh oposisi jelang periode ketiganya. Beberapa di antaranya mati di penjara.

Pada Agustus 2021, kebijakan Conde kembali menuai kontroversi ketika menaikkan pajak, memangkas anggaran polisi dan militer, serta menambah anggaran kantor presiden serta parlemen.

Periode ketiga Conde pun berlangsung singkat. Pada September 2021, militer yang dipimpin Kolonel Mamady Doumbouya melakukan kudeta. Conde ditangkap dan Doumbouya menjadi presiden interim hingga saat ini.

Presiden Pantai Gading Alassane Ouattara

Presiden Pantai Gading Alassane Ouattara kini menjabat untuk periode ketiga melalui proses kontroversial. Ouattara mengamankan periode jabatan ketiga dalam pemilu 2020 yang diboikot berbagai pihak. Jumlah kehadiran pemilih dalam pilpres ini tak sampai 53,9 persen.

Ouattara pertama menjabat sebagai presiden Pantai Gading pada 2010. Konstitusi membatasinya menjabat hanya untuk dua periode.

Akan tetapi, pada 2020, setelah dua kali dipilih, Ouattara mengumumkan kehendaknya maju lagi sebagai calon presiden. Pengumuman ini memantik protes dari berbagai pihak.

Mahkamah Konstitusi Pantai Gading kemudian memutuskan majunya Ouattara dalam pilpres sah. Alasannya, Ouattara menjalani masa jabatan pertama di bawah konstitusi 2000.

Konstitusi Pantai Gading diamandemen pada 2016. Pengadilan memutuskan Ouattara boleh maju karena masa jabatan pertama di bawah konstitusi lama tidak dihitung sebagai periode jabatan pertama sesuai konstitusi sekarang.

Kericuhan menyusul pilpres Pantai Gading pada 2020 membuat ribuan orang terpaksa mengungsi.

Sebelumnya, pada 2010, konflik politik yang ditimbulkan perselisihan Ouattara dengan mantan presiden Laurent Gbagbo memicu perang saudara yang membunuh sekitar 3.000 orang.

Bagaimana dengan Jokowi?

Konstitusi Indonesia secara tegas membatasi masa jabatan presiden selama dua periode sejak amandemen pada 1999. Namun, sejumlah elemen pendukung Jokowi menyuarakan amandemen konstitusi lagi untuk mengakomodasi perpanjangan masa jabatan presiden.

Selain amandemen konstitusi, wacana lain yang beredar adalah menunda pemilu 2024 sehingga masa jabatan Jokowi otomatis diperpanjang.

Ketika diminta menanggapi wacana perpanjangan masa jabatannya, Jokowi sendiri sebatas menyampaikan bahwa dia akan “taat konstitusi”.

“Konstitusi kita sudah jelas. Kita harus taat, harus patuh terhadap konstitusi, ya,” kata Jokowi dikutip Kontan, 30 Maret lalu.

Akan tetapi, pengamat menyebut pernyataan Jokowi itu “bersayap”. Managing Director Paramadina Public Policy Institute Khoirul Umam menilai pernyataan Jokowi mirip pernyataan Suharto saat hendak memperpanjang masa jabatannya.

“Statement itu jelas bersayap. Tidak ada indikasi political will dari presiden untuk secara lebih tegas dan lebih firmed (pasti) menolak wacana ini,” kata Umam kepada Kompas.com, 30 Maret lalu. {kompas}