News  

RADEN ADJENG, Catatan Peradaban Nusantara

“Pena lebih tajam daripada pedang” -Edward Bulwer-Lytton

Hari Kartini kita peringati tiap tanggal 21 April. Seorang pahlawan kemerdekaan yang hanya dikenal oleh khalayak umum sebagai seorang pejuang emansipasi wanita. Pada tahun 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan Presiden yang menetapkan R.A. Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan menetapkan hari lahir Kartini tanggal 21 April menjadi hari Kartini yang wajib diperingatkan setiap tahun.

Zaman itu bisa menjadi kemungkinan Presiden Soekarno melihat perlu nya seorang figur pahlawan wanita untuk mengakomodasi kepentingan para aktivis wanita. Mungkin terdengar oleh beliau bahwa para kaum wanita mulai jenuh dengan perilaku playboy nya. Ada banyak pahlawan kemerdekaan wanita seperti Cut Nyak Dien, Martha Tiahahu, Dewi Sartika dan lain – lain yang perannya tidak sedikit dalam memperjuangkan kemerdekaan nusantara. Tapi kenapa hanya Kartini yang harinya diperingati setiap tahun?

Saya mengenal Kartini sewaktu di sekolah dasar. Tiap tahun kita murid – murid di SD kami memperingati hari kartini dengan memakai kostum baju adat daerah. Guru – guru pun hanya menjelaskan kalau kita memperingati hari lahir seorang pahlawan emansipasi wanita. kalau sekarang dipikir – pikir lucu juga kita anak – anak SD memperingati hari seorang pahlawan emansipasi wanita dengan memakai pakaian adat daerah nusantara.

Kartini dilahirkan di Jepara pada tahun 1879 sebagai seorang putri berdarah ningrat Jawa. Sebagai seorang priyayi Kartini bersyukur mempunyai bapak seorang bupati dan kakek yang memperhatikan pendidikan putra – putrinya. Sampai umur 12 tahun Kartini sekolah di ELS (setingkat SD) sehingga beliau mampu membaca dan menulis dalam bahasa Belanda.

Keahlian literasi ini yang membakar semangat Kartini untuk berpetualang dalam karya – karya tulis Belanda. Pikirannya melayang dan ingin berontak untuk lepas dari pingitan adat wanita Jawa. Tidak sedikit karya – karya literasi Belanda berupa buku, majalah, koran yang habis ditelan oleh Kartini di masa remajanya. Tidak luput juga dibacanya karya – karya Multatuli yang banyak mengangkat isu sosial masyarakat yang terjajah di tanah nusantara zaman kolonial Hindia Belanda.

Dari bacaan tersebut muncul semangat pemberontakan Kartini terhadap feodalisme kaum kolonial yang diteruskan oleh kaum adat Jawa terhadap dirinya yang seorang wanita. Walaupun seorang priyai tetapi Kartini sangat peduli sekali dengan penderitaan seorang wanita apalagi wanita dari kalangan rakyat biasa yang sama sekali tidak punya kesempatan untuk mengubah nasibnya sebagai warga kelas dua.

Zaman itu rakyat biasa khususnya kaum wanita tidak hanya terjajah secara fisik tetapi juga terjajah secara intelektual. Rakyat nusantara sebagian besar buta huruf. Sekolah hanya eksklusif didirikan dan dijalankan oleh pihak kolonial. Pesantren – pesantren pun dijaga ketat dan dibatasi pengajarannya karena dikhawatirkan muncul pemberontak – pemberontak baru berhaluan Islam seperti Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol.

Kartini yang terdidik dari bacaan – bacaan dan diskusi dengan teman pena nya di Belanda merasa tidak cukup hanya tinggal diam. Beliau terpaksa mengorbankan idealisme nya untuk diperistri oleh bupati Rembang yang sudah mempunyai dua istri. Pengorbanan ini dilakukan dengan jaminan bahwa suami nya mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita.

Cita – cita nya yang tinggi untuk pendidikan kaum pribumi juga dituangkan pada surat – surat nya kepada teman – teman pena nya di negeri Belanda. Setelah beliau meninggal tahun 1904, teman – teman nya di Belanda membukukan surat – surat tersebut yang berjudul Door Duisternis tot Licht yang berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Sebuah judul yang sesuai dengan jiwa egaliter seorang putri ningrat Jawa.

Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1911 di negeri Belanda dan merupakan buku yang laris sampai dicetak ulang sebanyak lima kali. Popularitas sosok Kartini yang sesuai dengan semangat politik etis saat itu mempengaruhi para politisi Belanda berhaluan liberal untuk bersuara tentang nasib rakyat pribumi di daerah jajahan mereka. Parlemen Belanda pun akhirnya mendesak pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mulai membuka pendidikan dan mendirikan sekolah – sekolah untuk kaum pribumi di bumi nusantara.

Dari inisiasi tersebut tidak sedikit melahirkan putra – putra pribumi bangsa yang berjuang dengan gerakan intelektual. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dan teman – teman seperjuangannya yang bangkit karena memperoleh kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sekolah. Tidak ketinggalan pula para sastrawan angkatan Poedjangga Baroe seperti Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan – kawan yang turut mengisi kekayaan intelektual literasi melayu lahir karena terdidik di sekolah Belanda.

Bahkan Armijn Pane tercatat sebagai yang menerjemahkan dan menerbitkan buku Door Duisternis tot Licht ke bahasa melayu yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Armijn Pane menilai bahwa buku itu wajib untuk dibaca oleh rakyat pribumi karena mereka merasa berhutang budi terhadap Kartini yang dapat mempengaruhi negeri Belanda untuk berbuat lebih dalam hal pendidikan kaum bumiputra di tanah nusantara.

Mereka berharap dengan diterbitkannya buku ini dapat membuat para penggede – penggede pribumi bergerak untuk membantu rakyat biasa untuk dapat memperoleh pendidikan sekolah, minimal dapat membaca dan menulis. Buku terjemahan ini dicetak sebanyak sebelas kali dan Armijn Pane menuliskan kembali seperti sebuah roman dengan jalan cerita. Sebuah karya sastra yang fenomenal pada zamannya.

Tidak keliru apabila Kartini dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Beliau lah yang pertama kali memperjuangkan kemerdekaan bangsanya tanpa menggunakan senjata dan membunuh orang. Dengan senjata pena nya, surat – surat Kartini membuahkan hasil yang sangat signifikan dan membuka bab baru dalam perjuangan kemerdekaan bangsa.

Pramoedya Ananta Toer mengagungkan Kartini dengan menulis biografi nya dengan judul “Panggil Aku Kartini Saja”. Satu – satu nya karya biografi yang beliau tulis. Pramoedya menilai Kartini hanya mau dipanggil Kartini saja tanpa embel – embel ningrat nya sebagai bentuk perlawanan terhadap feodalisme dan berjiwa egaliter.

Saya menganggap bahwa sudah selayaknya nama Kartini ditulis dengan gelar ningrat nya, Raden Adjeng (R.A.). Saya anggap R.A. Kartini sangat pantas dan berhak disebut bangsawan dengan gelar tersebut. Agung jiwa nya di antara rakyat, semerbak nama nya merasuk dada masyarakat. Gelar yang semestinya menjadi pemimpin rakyat dan mampu membawa bangsa ini tidak hanya merdeka, tetapi menjadi yang terbaik dari semua bangsa – bangsa di dunia.

Wirendra Tjakrawerdaja, Cilacap 21 April 2022