Sesat Pikir Toleransi

Sesat Pikir Toleransi Radar Aktual

Gorengan isu intoleransi saat ini sungguh sudah sangat mengkhawatirkan. Dalam sebuah acara bincang-bincang di Metro TV, ditampilkan peneliti sebuah pusat kajian, salah satu kampus yang kental warna “liberalnya”. Sayangnya kampus itu berlabel kampus Islam.

Informasi yang saya dapatkan, dikatakan, dalam temuan penelitian, sekira 80% sekian, guru-guru muslim percaya bahwa Islam adalah solusi bagi segala permasalahan. Bagi peneliti, ini parah. Kenapa? Menjadi tanda munculnya bibit intoleransi dan radikalisme agama.

Dalam tayangan itu, juga dihadirkan salah satu Komisoner Komisi Perlindungan Anak (KPAI), Retno Listyarti, yang dimintai komentarnya tentang banyaknya guru yang intoleran. Diceritakan bahwa guru-guru intoleran memang masih ditemukan. Seperti laporan yang diterimanya.

Dikatakan, salah satu sekolah Islam di Depok dilaporkan telah mengajarkan benih-benih intoleransi. Buktinya apa? Dalam sebuah acara teater sekolah, ditampilkan tokoh yang membawa pedang-pedangan, juga katanya banyak ucapan-ucapan jihad dan musuh Islam. Menurutnya, itu bukti memang intoleransi masih ada.

Dalam hati kecil saya berontak. Kalau seorang muslim percaya Islam sebagai solusi beragam permasalahan, kalau jihad dan musuh Islam dikenalkan sejak dini dipermasalahkan, kalau pedang-pedangan bisa dijadikan tanda intoleran jika digunakan sebagai media pembelajaran, sungguh sangat kacau sekali pemahaman orang tentang intoleransi. Betapa sesat pikirnya pemahaman demikian.

Saya tentu saja dalam posisi mendukung misalnya ada imbauan guru harus toleran. Dan memang demikianlah seharusnya. Tapi, ketika parameter-parameter toleran atau intoleran dipaksakan sedemikian rupa sesuai dengan kemauan kelompok atau pihak-pihak tertentu tanpa ada dialog sebelumnya, maka alih-alih munculnya guru toleran, yang ada kemudian malah kecurigaan dan debat yang tidak perlu. Termasuk, tudingan-tudingan guru atau sekolah tertentu yang intoleran dalam pandangan subjektifnya, akan memunculkan permasalahan baru.

Memang, temuan penelitian, betapapun kacau desain riset dan kesimpulannya, tetap perlu menjadi bahan dialog. Tapi tak tak perlu memaksakan setiap orang untuk percaya begitu saja hasil penelitiannya. Kalau mereka memaksakan diri dan merasa diri telah melakukan kegiatan ilmiah dan merasa pasti benar temuannya, maka saya kira ini juga sebenar-benar bibit intoleransi dalam bentuk lain.

Contohnya begini, untuk menandai guru itu toleran atau tidak, dalam penelitian tersebut diberikan pertanyaan, apakah bersedia non muslim mendirikan tempat ibadah di lingkungan tempat tinggal Anda? Kalau jawaban tidak, maka guru itu diklaim intoleran. Jelas, pertanyaan demikian sangat tendensius dan desain risetnya memang sejak awal sudah “Tidak adil dalam pikiran”.

Bayangkan begini, misalnya dalam perumahan atau perkampungan. Ada 100 KK. 90 KK muslim dan 10 KK non muslim. Ketika misalnya yang 10 KK itu berkeingian mendirikan tempat ibadah dilingkungan tersebut dan ada penolakan, maka intoleransi begitu mudah disematkan.

Tapi, bayangkan misalnya di perumahan atau perkampungan non muslim. 90 KK non muslim,10 KK muslim, dan mereka ingin mendirikan masjid atau mushola, apakah peneliti berani bilang yang 90 KK itu intoleran? Mungkin yang muncul malah petuah-petuah bijak, muslim harus tahu diri dan tak boleh memaksakan kehendaknya sendiri.

Begitulah. Jadi saya kira, propaganda-propaganda tentang intoleransi ini perlu kita baca dengan kritis. Termasuk, juga kepentingan-kepentingan politik yang mengikutinya. Terakhir, saya kira pemahaman tentang intoleransi yang konyol, serampangan dan salah kaprah ini harus tegas kita tolak karena terbukti menyesatkan publik.

Yons Achmad
(Kolumnis. Tinggal di Depok)