News  

Daya Beli Buruh Tergerus Inflasi, Formula UMP Ditinjau Kembali

Tingkat inflasi Indonesia tahun kalender (Januari–Juni) 2022 sebesar 3,19 persen dan tingkat inflasi tahun ke tahun (yoy) dari Juni 2022 terhadap Juni 2021 sebesar 4,35 persen. Tingkat inflasi tersebut masih berpotensi terus meningkat karena faktor eksternal dan internal kita.

Inflasi Indonesia yang mencapai 4,35 yoy di Juni 2022 tsb menggerus upah buruh yang naik rata-rata 1.09%. Kenaikan UMP DKI 5,1% pun dianulir Hakim PTUN, sepertinya hakim tidak membaca kondisi inflasi Indonesia yang menggerus daya beli pekerja dan keluarganya.

Kalau Pasal 26 PP 36 tahun 2021 masih dipakai sebagai perhitungan kenaikan UM 2023 maka kembali upah buruh akan tergerus. GDP yang lebih baik dari inflasi di Indonesia hanya menyisahkan tergerusnya upah buruh, GDP tidak memberi nilai tambah bagi daya beli buruh.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia ( OPSI) Timboel Siregar berharap Pemerintah memperbaiki daya beli buruh sehingga konsumsi agregat masyarakat meningkat, bukan malah menekan daya beli buruh.

Hal ini penting karena Pertumbuhan ekonomi kita 52 persen dikontribusi dari konsumsi agregat masyatakat. Seharusnya pemerintah mendukung daya beli pekerja yang sudah tergerus inflasi.

Mungkin saat ini sulit menaikkan upah sesuai GDP dan inflasi, karena kenaikan UM 2022 menggunakan pasal 26 PP 36/2021 dan regulasi ini didukung hakim PTUN. Namun fakta tergerusnya UM 2022 ini seharusnya bisa dievaluasi sehingga kenaikan UM 2023 bisa lebih dari tingkat inflasi.

Untuk kenaikan UM 2023, menurut Timboel, seharusnya Pemerintah mau merevisi rumus kenaikan UM yang ada di pasal 26 PP 36/2021 dengan mengembalikan rumus kenaikan UM sesuai PP 78/2015 tapi berdasarkan PDRB propinsi dan inflasi propinsi.

Kalau di PP 78 kenaikan UM adalah penjumlahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi (PE) misalnya inflasi 3 persen dan PE 5 persen maka kenaikan UM nya 3 + 5 = 8 persen. Kalau di PP 36 rumusnya banyak. Menentukan dulu Batas Atas (BA) lalu menentukan Batas Bawah (BB), lalu masukin rumus menentukan kenaikan dgn memilih mana yg lebih besar inflasi atau PE. Kalau PE lebih besar maka pakai PE, kalau inflasi lebih besar pakai inflasi. Jadi memilih, bukan dijumlahkan seperti PP 78.

Saat ini Pemerintah lagi mengajak Serikat Pekerja/ Serikat Buruh (SP/SB) untuk membahas ulang UU Cipta Kerja sebagai amanat Putusan MK.

Timboel berharap, SP /SB terus mendorong Pemerintah mau merevisi rumus kenaikan UM tersebut, dengan kembali menggunakan rumus di PP 78 tahun 2015. Yang ideal memang mengembalikan kenaikan UM pada mekanisme survey pasar yang dilanjutkan dengan negosiasi Dewan Pengupahan Daerah, tapi bila ini tidak disetujui maka kembalikan pada rumus di PP 78 tahun 2015.

Bantuan Subsidi Upah
Untuk kondisi tergerusnya upah buruh saat ini, yang bisa dilakukan Pemerintah saat ini adalah segerakan realisasi Bantuan Subsidi Upah (BSU) 2022 yang memang sudah dianggarkan sebesar Rp. 8.8 Triliun untuk 8.8 juta pekerja.

Tiomboel Siregar mendesak Menteri Ketenagakerjaan untuk merealisasikan BSU ini.

Selain itu, Timboel Siregar mengusulkan agar BSU 2022 harus menyasar juga pekerja yg belum ikut jaminan sosial ketenagakerjaan. Buka ruang pekerja yang tidak terdaftar di BPJS ketenagakerjaan untuk melapor ke BPJS Ketenagakerjaan dan atau dinas ketenagakerjaan setempat.

Dengan mengikutkan mereka maka Dinas Ketenagakerjaan dan BPJS ketenagakerjaan bisa mendata mereka dan melakukan penegakkan hukum kepada perusahaan yang belum mendaftarkan pekerjanya ke BPJS ketenagakerjaan. Demikian juga BSU 2022 menyasar pekerja migran yang pulang dari luar negeri, serta pekerja ojol.

Tentunya Pemerintah juga tetap menganggarkan BSU 2023 untuk mengantisipasi kondisi global yang kemungkinan belum pulih di tahun depan.

Langkah lainnya yg bisa dilakukan Pemerintah adalah lakukan operasi pasar untuk para pekerja di kawasan2 industri dan lokasi kerja lainnya. Ajak para pengusaha utk mendukung operasi pasar ini dengan anggaran CSR nya.

Erwan Mayulu, Penulis Ketenagakerjaan