News  

Resesi Teknis Melanda Ekonomi AS, Ini Dampaknya Terhadap Indonesia

Ekonomi Amerika Serikat (AS) memasuki resesi teknis, setelah pertumbuhan ekonomi kuartal II 2022 tercatat minus 0,9 persen secara year on year (yoy).

Di kuartal sebelumnya, yakni pada Januari-Maret 2022 kontraksi ekonomi AS sudah terjadi lebih dalam yakni di posisi minus 1,6 persen secara yoy.

Dengan pertumbuhan ekonomi yang negatif di dua kuartal berturut-turut, Amerika Serikat (AS) secara teknis dinyatakan mengalami resesi.

Lantas, apa dampak yang dirasakan Indonesia? Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah mengatakan, The Fed menaikkan suku bunga untuk menahan laju inflasi yang terus tinggi.

Di sisi lain kenaikan suku bunga juga menahan konsumsi dan investasi riil. Itu berarti, menahan atau bahkan menurunkan pertumbuhan ekonomi hingga terjadi resesi.

“Kenaikan suku bunga The Fed menyebabkan arus modal global mengalir masuk ke Amerika menyebabkan dolar AS menguat. Jadi dampak kenaikan suku bunga The Fed justru menyebabkan keluar nya modal asing.

Dampaknya kemudian adalah nilai mata uang negara berkembang melemah terhadap dolar AS,” jelas Piter kepada kumparan, Jumat (29/7).

Dihubungi terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira menyebut, kenaikan tingkat suku bunga The Fed hanyalah salah satu faktor penyebab resesi di AS.

Bahkan tanpa The Fed menaikkan suku bunga, inflasi yang bersumber dari harga energi maupun pangan telah memukul ekonomi AS.

“Sebagian besar cost push inflation atau inflasi dari sisi produksi membuat perusahaan memilih melakukan pengurangan kapasitas produksi diberbagai sektor terutama elektronik, otomotif, besi baja, dan makanan jadi. Ibaratnya Fed rate di satu sisi ingin kendalikan inflasi tapi ada efek menambah dalam kontraksi nya,” kata Bhima kepada kumparan.

“Dampak positif, Indonesia relatif bisa menunjukkan performa ketahanan ekonomi lebih baik dari negara tetangga. Contohnya soal inflasi, Indonesia masih ada di 4,35 persen per Juni 2022 dan inflasi Juli meski naik ada di angka 4,6 persen. Sementara inflasi di Thailand sudah di angka 7,66 persen dan Filipina 6,1 persen secara tahunan,” sambung Bhima.

Inflasi yang relatif rendah membuat investor di pasar modal masih menaruh kepercayaan terhadap prospek pasar Indonesia. Jika angka inflasi masih dalam batas wajar yakni di bawah 4,8 persen, maka kekhawatiran permintaan perusahaan turun tajam seperti di AS bisa dicegah.

Menurut Bhima, terdapat korelasi inflasi terjaga dengan arus modal asing dalam pembelian bersih saham sebesar Rp 58,2 triliun di semua pasar secara year to date atau dari awal tahun 2022.

“Memang inflasi yang rendah di Indonesia harus dibayar dengan harga yang mahal, yaitu beban belanja subsidi energi terutama BBM akan melonjak signifikan, mungkin Rp 620 triliun tidak cukup menambal dana kompensasi dan subsidi energi sampai akhir tahun,” pungkas dia.(Sumber)