Masika ICMI Provinsi DKI Mendukung Aksi Gerakan 1 Juta Buruh Menolak UU Omnibus Law

Terkait dengan aksi 1 juta buruh menolak UU Omnibus Law, banyak kalangan yang mendukung dan bersama menolak UU tersebut. Salah satunya Masika (Majelis Sinergi Kalam) ICMI Provinsi DKI Jakarta. Mereka juga ikut menurunkan massa dalam aksi gerakan buruh dan menolak UU Omnibus Law ini.

Reiza Patters, Ketua Pengurus Wilayah Masika ICMI Provinsi DKI Jakarta mengatakan bahwa gerakan aksi 1 juta buruh menolak UU Omnibus Law ini sejalan dengan nafas perjuangan cendekiawan Muslim untuk membela kaum yang tertindas.

Bahwa UU Omnibus Law ini berpotensi mendegradasi kesejahteraan kaum buruh dan menurunkan derajat kepastian atas kehidupan yang layak bagi mereka.

Reiza juga mengatakan, dari 3 komponen UU Omnibus Law, yang paling disoroti oleh kaum buruh atau pekerja adalah UU Ciptaker, yang memuat pasal-pasal kontroversial. Dijelaskannya bahwa ada beberapa poin yang menjadi dasar penolakan, yaitu:

*Upah minimum bersyarat.*

Dalam RUU Ciptaker, Upah Minimum Sektoral (UMSK) dihapuskan dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dibuat bersyarat dengan memerhatikan laju inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Menurut Reiza sudah tepat penetapan UMSK diberlakukan karena setiap industri memiliki kemampuan yang berbeda-beda.

Kedua UMK sudah tepat ditetapkan melalui perhitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di mana inflasi dan pertumbuhan ekonomi juga menjadi salah satu faktor yang diperhitungkan di dalam penetapan UMK ini yang dilakukan oleh Dewan Pengupahan Kota/Kabupaten atau Provinsi.

“Mestinya penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang memperoleh UMSK bisa diputuskan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu yang memang menyerap tenaga kerja yang besar serta memiliki kapasitas bisnis yang merata di banyak wilayah Republik Indonesia, sehingga ada kepastian hukum atas keadilan terhadap pemberian upah pada pekerja,” pungkasnya.

*Pesangon berkurang*

Selain upah minimum, buruh juga menolak pemangkasan nilai pesangon dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah. Dalam UU Ciptaker, 19 bulan dilunasi oleh pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.

Sebagian besar buruh kebigungan dan mempertanyakan dari mana BPJS bisa memperoleh dana untuk membayar pesangon buruh.

Menurut Kemenakertrans, BPJS akan memperoleh dana tersebut dari iuran BPJS yang selama ini dibayarkan perusahaan dan buruh kemudian dialihkan sebagian untuk jaminan pesangon selama 6 bulan setelah buruh diputuskan hubungan kerjanya.

“Angka jaminannya sangat kecil untuk 6 bulan jaminan BPJS yang iurannya hanya sebagian kecil saja yang ditanggung pemerintah. Sisanya tetap ditanggung oleh Perusahaan dan buruh. Karena hanya pengalihan saja dari iuran BPJS-TK yang selama ini dibayarkan. Dan jumlahnya sangat kecil,” tegasnya.

“Bayangkan saja, Jaminan Hari Tua (JHT) ditahan sampai usia pensiun karena ada JKP. Menurut saya tidak perlu ditahan, karena sudah ada Jaminan Pensiun yang memang didesign sejak awal bisa dicairkan di masa pensiun.

JKP itu kecil sangat kecil dan hanya diberikan selama 6 bulan sejak pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja. Diberikan 45% dari upah selama 3 bulan pertama dan 25% dari upah selama 3 bulan berikutnya. Upah yg digunakan sebagai dasar perhitungan maksimal hanya 5jt.

Jadi pekerja menerima paling besar 2,25jt perbulan selama 3 bulan dan 1,25jt perbulan selama 3 bulan berikutnya, dan mereka diharapkan bisa bertahan hidup setelah mengalami pemutusan hubungan kerja sampai mendapatkan pekerjaan baru. Buat kami, ini penyiksaan secara tidak langsung,” tambahnya.

Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) pada PP Nomor 37/2021 dan Permenaker Nomor 15/2021. Semua ini merupakan peraturan turunan dari UU Cipta Kerja Nomor 11/2020.

*Penghapusan batas waktu PKWT*

Skema penghapusan batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) mendapat penolakan keras dari para buruh. Dengan adanya pasal tersebut buruh bisa saja bekerja seumur hidup tanpa jaminan diangkat menjadi karyawan tetap perusahaan.

“Dalam penerapannya, pekerja PKWT tidak mendapatkan hak yang sama dengan pekerja PKWTT atau pekerja tetap.

Dan seharusnya digunakan sebagai pekerja yang bekerja hanya untuk pekerjaan yang penyelesaiannya hanya untuk sementara dan bukan kegiatan inti perusahaan.

Ini akan jadi masalah di kemudian hari karena tidak ada kepastian jenjang karir dan pendapatan manfaat pekerja yang tidak maksimal,” kata Reiza.

Reiza mengatakan juga bahwa UU Ciptaker ini menggunakan dasar pemikiran yang menjadikan tenaga kerja atau buruh hanya sebagai mesin untuk menguntungkan pengusaha saja, namun dengan biaya serendah-rendahnya bagi mereka.

Padahal menurutnya, sebuah industri atau perusahaan yang sehat dan berkelanjutan sudah mesti mendorong sumber daya manusia yang dimiliki sebagai aset perusahaan yang menjadi unsur investasi jangka panjang perusahaan.

“Sudah selayaknya perusahaan masa depan mempertimbangkan hal tersebut dan menjadikan kenyamanan dan kepuasan kerja, pengembangan kompentensi dan kemampuan teknis pekerja didorong menjadi biaya investasi berkelanjutan bagi perusahaan.

Sehingga hubungan mutualisme yang saling menguntungkan tercipta antara pengusaha dan pekerjanya dalam meningkatkan pertumbuhan dan profitabilitas perusahaan,” tutupnya.