News  

Guru Besar IPB Curiga Ada Motif Bisnis di Balik Isu Krisis Pangan Global

Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB sekaligus Associate Researcher CORE Dwi Andreas Santosa mencurigai adanya motif bisnis di balik isu krisis pangan yang dihembuskan sejumlah kalangan belakangan ini. Dalam acara Indonesia’s Strategic Role in G20, Kamis (27/10), Andreas mengaku tidak datang sebagai perwakilan akademisi atau atas nama IPB. Ia menentang tegas isu krisis pangan demi membela petani Indonesia.

Menurutnya, isu krisis pangan atau global food crisis adalah hal yang bisa terjadi karena satu faktor besar, yakni penurunan produksi serealia dunia. Serealia merupakan sekelompok tumbuhan yang ditanam untuk dipanen biji atau bulirnya yang kemudian digunakan sebagai sumber karbohidrat dan pati.

Ia mengatakan penurunan produk serealia itu tidak terjadi saat ini. Andreas karena itu mempertanyakan pernyataan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan 16 institusi besar lain yang tiba-tiba mengumumkan dunia akan mengalami krisis pangan pada 2020.

“Produksi serealia dunia pada 2020 justru mencapai rekor produksi tertingginya. Bagaimana disimpulkan food crisis?” tanya Andreas keheranan, Kamis (27/10).

Ia mengatakan gambaran krisis pangan global sebenarnya bisa dilihat pada 1972 hingga 1974 di mana produksi serealia dunia turun 10 persen.

Lalu pada puncak krisis pangan 2011 yang menghancurkan berbagai rezim di Afrika Utara dan Timur Tengah dan mengakibatkan produksi serealia turun 14 persen.

Andreas curiga isu krisis pangan dihembuskan untuk kepentingan bisnis berdasar pengamatannya pada 2007 dan 2008 lalu. “Ketika terjadi global food crisis pada 2007 dan 2008, yang untung adalah pemain-pemain besar di perdagangan dunia. Mereka untung 120 persen,” jelasnya.

“Pemain-pemain besar di bidang benih dan pestisida untung 40 persen. Pemain-pemain di industri fertilizer untungnya 60 persen. Jadi Indonesia harus hati-hati terhadap isu global food crisis,” tegas Andreas.

Andreas menjelaskan saat ini perdagangan global diatur oleh 5 multinational corporation yang menguasai 90 persen perdagangan dunia. Produsen pangan dunia saat ini didominasi negara-negara maju. Berbeda ketika sampai tahun 1980-an di mana negara-negara berkembang relatif tidak masalah dengan urusan pangan.

“Tapi sejak 1990-an, sekitar 70 persen negara-negara berkembang bergantung dengan impor pangan dari negara maju. Posisi saat ini perdagangan pangan dunia lebih dari 70 persen diproduksi negara maju,” paparnya.

“Kini 90 persen pangan yang diperdagangkan dunia diimpor oleh negara-negara berkembang. Jadi mohon hati-hati terkait isu pangan global. Apakah negara maju atau multinational corporation yang ingin mengambil untung berlebih dengan menelurkan isu krisis pangan global?” pungkas Andreas. {sumber}