News  

Menuju Tahun Kontestasi dan Peran Elite Politik

Tahun 2023 adalah kelanjutan pemantapan konsolidasi para aktor politik menuju kontestasi Pemilu 2024. Tahun depan dengan demikian adalah tahun “jembatan emas” bagi pelaksanaa pemilihan umum yang hasil-hasilnya diharapkan akan membawa kondisi bangsa ini menjadi lebih baik.

Secara umum 2023 adalah sebuah tahun kelanjutan dari fase konsolidasi internal yang mencapai puncaknya pada 2022 menuju pergerakan politik seluruh partai politik yang lebih riil di level masyarakat.

Dengan demikian, setelah berhasil menjamin soliditas struktur partai hingga ke daerah-daerah dan penyatuan persepsi dalam memahami arah dan agenda partai, fase berikutnya di tahun depan adalah bagaimana partai-partai dapat mulai hadir di tengah-tengah masyarakat.

Pergerakan itu lebih dari sekadar mengenalkan diri lagi, namun mengajak dan memengaruhi pilihan para pemilih. Ini berarti tahun kontestasi akan diwarnai dengan semakin intensnya partai politik mendekati kelompok-kelompok masyarakat potensial.

Selain itu partai-partai akan mulai melakukan pendekatan pada tokoh-tokoh informal apakah itu dari kalangan adat, agama, atau hal lain berikut institusi yang dipimpinnya. Sebagai konsekuensinya kegiatan ini akan menciptakan suatu rangkaian pendekatan politik di seluruh penjuru Tanah Air yang di antaranya akan menciptakan afiliasi-afiliasi politik, baik atas dasar kepercayaan ataupun kepentingan yang sama.

Pada fase itulah praktik demokratik akan terlihat demikian kasat mata. Komunikasi hingga transaksi politik antara peserta dan pemilih akan menjadi sesuatu yang wajar terlihat. Kampanye yang akan di mulai 28 November 2023 depan akan menjadi “puncak acara” dari sebuah prosesi kontestasi politik anak bangsa, yang konon katanya termasuk terbesar di jagad raya ini, dengan potensi pemilih sekitar 190 juta-an.

Hal yang harus dicermati adalah bagaimana proses demokratik itu akan berjalan dengan baik dan bukan justru menjadi penyebab kemunduran bagi kualitas demokrasi kita. Demokrasi kita itu sendiri saat ini memang mengalami banyak cobaan dan kritikan. Dan, sejatinya tidak mudah untuk benar-benar dapat mendukung prosesi pemilu dan kampanye yang demokratik. Potensi gesekan baik horizontal maupun vertikal demikian besar.

Kehidupan politik kita berpotensi akan menjadi sebuah “pasar bebas” dengan banyak kontestasi yang sangat membahayakan keutuhan bangsa jika tidak dikelola dengan tepat. Namun the show must go on. Karena walau bagaimana pun kampanye merupakan konsekuensi pemilu, di mana pemilu itu sendiri adalah bagian dari esensi demokrasi yang harus dilakukan.

Tugas kita semua dengan demikian memastikan bahwa demokrasi jangan sampai menjadi semakin terpuruk di tengah hangatnya kontestasi antarkontestan dan kandidat di tahun depan. Demokrasi kita tidak boleh menjadi mentah, karena pemilunya menjadi demikian manipulatif, yakni sekadar alat untuk memukul kalangan yang berbeda pandangan atau terbajak lagi oleh kepentingan oligarki.

Lebih buruk dari itu, pemilu yang seharusnya menjadi sebuah selebrasi aspirasi anak bangsa justru terjerembab menjadi persaingan emosional yang memperlemah soliditas bangsa. Di sinilah tahapan kampanye yang akan banyak terjadi di tahun depan harus dijaga. Dan ini jelas memerlukan kesadaran dan keikutsertaan semua pihak.

Peran Elite Politik
Di antara pihak yang berkepentingan dan turut mempengaruhi itu adalah elite politik yang merupakan bagian dari kepemimpinan nasional. Dalam situasi menjelang ajang besar seperti pemilu elite politik (yang terutama terdiri dari elite pemerintahan dan partai politik) adalah kunci. Di sini diperlukan kepemimpinan yang berkarakter negarawan, yakni sebuah kepemimpinan yang berkomitmen menjadi kepentingan bangsa sebagai tujuan utamanya.

Sebuah kepemimpinan yang merangkul setiap kalangan dan memberlakukannya secara adil sebagai bagian anak bangsa. Juga sebuah kepemimpinan yang mau mendengar kepentingan banyak pihak, termasuk berbagai masukan dan kritik terhadap kebijakan umum maupun hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan kampanye.

Robert Dahl (1970) mengatakan bahwa partisipasi merupakan elemen penting dalam demokrasi, di mana rakyat turut serta dalam proses pembentukan pemerintahan, jalannya pemerintahan, kontrol terhadap kekuasaan dan evaluasi. Oleh karenanya kepemimpinan nasional harus mampu menjaga hakikat partisipasi seluas-luasnya yang diekspresikan pada pelaksanaan pemilu sebagai momen konstitusional dalam rangka implementasi demokrasi.

Sehubungan dengan itu, selain turut memastikan berjalannya hak memilih universal, setidaknya ada beberapa hal yang elite pemerintah dan parpol dapat lakukan di masa-masa krusial itu untuk meningkatkan makna dan mutu pemilu sekaligus mencegah potensi negatif yang mungkin muncul pada 2023.

Pertama, pemerintah dan parpol harus turut menyebarluaskan semangat “pemilu-konstitusional” sebagai ajang pemilihan kepemimpinan bangsa yang regular dan sah. Mereka harus menjadikan 2023 sebagai periode edukasi politik yang menyeluruh dan konkret kepada seluruh masyarakat.

Di sini berarti kepemimpinan nasional juga harus dapat menjamin bahwa segenap aspek positif dari pemilu dapat dipahami dan dirasakan oleh masyarakat, sehingga pemilu tidak sekadar menjadi “pesta tanpa makna”.

Kedua, elite pemerintah dan parpol harus berperan menjadi lokomotif untuk melawan “bahaya laten” oligarki dan kalangan-kalangan yang berupaya membajak demokrasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat korelasi antara peran oligarki dalam prosesi pemilu di Indonesia yang akan berujung nantinya pada sebuah pemerintahan yang elitis atau anti-demokrasi. Indonesia bahkan dijadikan contoh tentang bagaimana demokrasi dan oligarki dapat berjalan beriringan (Ford & Pemipnsky, 2014).

Ketiga, para elite politik harus menjadi sentra kekuatan pencegah berbagai bentuk manipulasi politik, apakah itu fitnah, black campaign atau kekerasan politik. Selain itu harus menjadi kekuatan yang mereduksi kecenderungan berpolitik post-truth ataupun populisme, yang membodohi dan menjauhkan rakyat dari cita-cita berdemokrasi yang sesungguhnya.

Dalam hal ini peran mereka juga termasuk membatasi gerak para negative buzzer yang kerap memproduksi fake news dalam kehidupan politik.

Keempat, peran penting berikutnya adalah sebagai pencegah terjadinya polarisasi, yang akan selalu berpotensi membelah keutuhan bangsa hingga di masa-masa yang akan datang. Dalam hal ini peran terbaik bagi pemerintah adalah menjaga netralitasnya, sembagi terus berkampanye memberikan imbauan pentingnya menjaga keutuhan bangsa.

Sementara bagi para pimpinan partai dituntut untuk bersikap tegas dan objektif dalam menyikapi segenap bentuk upaya pemecahan belah yang dilakukan oleh kader-kadernya.

Kelima, hal yang juga harus disegerakan untuk dilakukan adalah memberantas segenap bentuk praktik money politics. Praktik ini muncul pada dasarnya akibat beragam peluang. Hal yang paling utama adalah lemahnya penegakan hukum, ketiadaan edukasi politik dan ketimpangan ekonomi. Dalam waktu yang singkat ini, hal yang masih dapat dikejar oleh pemerintah adalah dua hal pertama tersebut.

Akhirnya, hal yang keenam, yang juga tidak kalah pentingnya untuk dilakukan adalah menjamin netralitas aparatus pemerintah apakah ASN, polisi maupun tentara dalam ajang pemilu ini. Ini tidak saja akan mengancam hakikat profesionalitas birokrat dan aparat, namun juga akan menjadi celah pembenaran atau legitmasi bagi masyarakat untuk tidak memercayai pelaksanaan pemilu dan hasilnya karena terjadi pembiaran bahkan dorongan atas keterlibatan aparat dalam pemilu. (Sindonews)

Prof Firman Noor, Peneliti pada Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)