Alasan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Harus Ditolak, Dari Moral Hazard Hingga Kegagalan Pendidikan Politik Rakyat

Polemik sistem Pemilu proporsional terbuka dan tertutup mencuat ke permukaan setelah ada pihak yang mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi di tengah tahapan yang sudah berjalan. Pengajuan JR ini apabila dikabulkan MK tentu akan merubah skema serta rencana politik partai-partai yang ada.

Menariknya, pengajuan JR sistem Pemilu dilakukan oleh kader PDIP dan diakui sendiri oleh Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. Lalu untuk apa kader PDIP mengajukan JR ini? Sementara itu di sisi lain, Airlangga Hartarto bersama pimpinan 8 partai lainnya pada 7 Januari 2022 telah secara terbuka melakukan penolakan dengan menyatakan sikap politik bersama bahwa sistem Pemilu proporsional tertutup mengancam kemajuan demokrasi di Indonesia.

Sistem Pemilu tertutup sebelumnya pernah dilakukan di era Orde Baru dan tahun 1999. Sistematika sistem Pemilu tertutup ini hanya menggunakan logo partai pada praktiknya. Tidak ada nama Caleg dalam surat suara. Penentuan siapa Calon Legislatif yang bakal jadi duduk di kursi legislatif ditentukan oleh masing-masing partai dengan nomor urut.

Langkah Partai Golkar dan 7 partai lainnya dalam menolak sistem Pemilu tertutup selain alasan normatif, ada beberapa alibi lain mengapa sistem ini perlu ditolak. Berikut analisis yang bisa kami paparkan terkait sistem Pemilu tertutup.

Merugikan Partai Golkar dan 7 Partai Lain

Jika ditilik berdasarkan data statistik yang ada, hasil survei berbagai lembaga selalu menunjukkan bahwa PDIP memiliki raihan suara yang selalu lebih sedikit pada akhirnya. Misalnya jika sebelum Pemilu lembaga survei memiliki angka 25% untuk elektabilitas PDIP, tetapi saat Pemilu berlangsung raihan angkanya akan berkurang dari data survei. Pengurangannya bisa capai 3 sampai 5%.

Sementara berkebalikan dari PDIP, Partai Golkar seperti yang pernah dijelaskan oleh Airlangga Hartarto memiliki trend suara yang lebih tinggi dibanding dengan hasil survei banyak lembaga sebelum Pemilu berlangsung. Jika sebelum Pemilu Partai Golkar memiliki angka elektabilitas 8-10% tetapi pasca Pemilu, raihan suaranya selalu di atas itu.

Fenomena yang sama seperti Partai Golkar turut dirasakan partai lain seperti Partai Demokrat, PAN, PKB dan lainnya. Artinya apa? Apakah hasil survei tidak menunjukkan akurasi?

Tidak. Saat survei berlangsung, pertanyaan yang dilontarkan biasanya hanya partai apa yang anda pilih, bukan Caleg mana yang bakal jadi pilihan anda. Sifat pertanyaan ini merujuk pada sistem tertutup. 25% elektabilitas PDIP bakal menjadi kenyataan apabila sistem tertutup diterapkan.

Berbekal party ID yang kuat PDIP tampaknya sadar bahwa kemenangan mutlak bisa mereka dapatkan jika Pemilu tertutup dilakukan. Sementara Partai Golkar yang berbekal kekuatan meratanya Caleg tidak akan diuntungkan dari sistem tertutup ini. Kinerja mesin politik hanya akan bertumpu pada 1 atau 2 orang saja. Padahal kekuatan Partai Golkar ada pada gotong royongnya para Caleg mendulang suara untuk partai.

Moral Hazard

Jika benar nanti MK mengabulkan JR tentang sistem Pemilu tertutup, maka kita tidak lagi bisa bersandar pada kesadaran konstitusional. Bagaimana mungkin ketika tahapan Pemilu 2024 sudah berlangsung, mulai dari pendaftaran partai, verifikasi faktual sampai pengesahan partai peserta Pemilu 2024 dilakukan, lalu di tengah jalan penyelenggara mengganti aturan main?

Jika ingin mengganti aturan main, perlu kiranya dilakukan diskursus publik jauh-jauh hari sebelum tahapan Pemilu digelar. Persoalan JR ini apabila dikabulkan akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia, penyelewengan moral yang menyimpang dari hak konstitusional. Seolah demokrasi hanya disandarkan pada kebutuhan kepentingan para pemilik kekuasaan.

Atau pilihannya, tunggu, selesaikan permainan hingga akhir. Setelah itu jika ingin mengganti bagaimana sistem Pemilu diberlakukan untuk periode selanjutnya, silahkan saja melalui jalur-jalur yang telah disediakan oleh konstitusi.

Anggota Legislatif Terpilih Hanya Melayani Ketua Umum Partai

Implikasi dari adanya pemberlakuan sistem Pemilu tertutup ini berpotensi menutup hubungan strategis antara rakyat dan corong suaranya di parlemen. Rakyat tidak akan tahu siapa perwakilan legislatif yang dipilihnya karena persoalan ini menjadi otoritas dari masing-masing partai. Imbasnya, para legislator hanya akan membuka komunikasi dengan internal partai.

Partai nantinya akan menjelma sebagai katalisator tunggal pembangunan dalam spektrum politik, memiliki posisi mutlak untuk mengambil kebijakan tanpa mengindahkan suara konstituen. Ketua Umum Partai pun tak lagi bersandar pada kepentingan komunal, mereka akan membuat lembaga politik yang dipimpinnya berwujud oligarki.

Untuk menjadi seorang anggota dewan, ketua umum partai bisa saja menempatkan orang-orang yang telah melakukan transaksi besar untuk menduduki jabatan tersebut. Saluran ini yang semakin membuat rakyat berpotensi kehilangan celah penyaluran aspirasi. Gerak politik akan cenderung berorientasi pada kapitalisme. Potensi ini yang disebut-sebut sebagai kemunduran dari demokrasi.

Sistem Pemilu Tertutup Bisa Dilakukan Pada Tataran Eksekutif

Jika sistem Pemilu tertutup benar diberlakukan, bukan tidak mungkin pola pemilihan pada tataran tingkatan struktur eksekutif juga akan berubah. Semisal kembali menggunakan sistem pemilihan kepala daerah diserahkan kepada DPRD, presiden pun akan kembali dipilih oleh DPR. Rakyat tak bisa lagi memilih pemimpinnya secara langsung.

Maka demokrasi akan semakin terkooptasi pada pemain politik di tingkatan partai. Kontribusi dan suara masyarakat akan semakin dikerdilkan. Simbol demokrasi akan semakin tergerus seiring ambisi sekelompok orang yang ingin melanggengkan kekuasaan kelompok dan barisannya. Miris.

Bukan Perubahan Sistem, Tapi Masifkan Pendidikan Politik Pada Rakyat

Salah satu alibi penggugat sistem Pemilu tertutup adalah efisiensi biaya. Jika Pemilu dilangsungkan secara terbuka, biaya politik termasuk politik uang akan masif terjadi. Politik uang menjadi parasit yang sulit dibenahi di Indonesia. Terkadang para penyelenggara pun bisa jadi pelaku utama dari tebaran politik uang yang trengginas di tahun politik.

Persoalan utama dari politik uang bukanlah melulu mengenai sistem pemilihan, lebih penting dari itu bagaimana mendidik pemilih Indonesia agar menyadari bahwa politik uang bisa merugikan mereka kelak. Peran KPU RI nihil dalam persoalan ini.

Padahal persoalan pendidikan politik ini adalah perintah Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang termuat pada Bab XVII, Pasal 448, 449 dan Pasal 450 terkait partisipasi masyarakat dan pendidikan politik bagi pemilih.

Jika pemilih menyadari peran dan bagaimana menciptakan kultur demokrasi yang sehat maka dalam kontestasi politik tidak perlu lagi ada politik uang. Pertarungan ideal mengenai gagasan pembangunan dan kebangsaan akan tercipta kemudian.

Persoalan ini menjadi PR kita bersama, selain melakukan pendidikan politik, membangun kesejahteraan konstituen adalah tugas selanjutnya, dan tidak bisa dilakukan jika saluran politik publik dimatikan dengan sistem Pemilu tertutup. Sekian.

Oleh Rezha Nata Suhandi
Pemimpin Redaksi Golkarpedia {golkarpedia}