News  

Bertemu Ketua MPR, Ayuningtyas Widari Berjuang Akhiri Diskriminasi Perempuan

Pada Kamis, 19 Januari 2023 sebagai lobbyist agency Indonesia ReThinkbyAWR Strategic Partnership memfasilitasi ILUNI UI dan Diesel One Solidarity serta UNAIDS Indonesia untuk menemui Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo.

Pertemuan tersebut membahas mengenai beberapa isu terkini. Namun, secara khusus dalam pertemuan ini, Founder sekaligus Direktur Executive, Ayuningtyas Widari Ramdhaniar selaku Project Manager Zero Discrimination Day yang akan digelar pada Maret mendatang, meminta kesediaan Bambang Soesatyo agar menjadi Keynote Speaker pada acara tersebut.

ReThinkbyAWR sebagai lobbyist agency di Indonesia untuk UNAIDS mengajak ILUNI UI sebagai akademisi terpercaya untuk mengangkat isu diskriminasi, juga mengajak Diesel One Solidarity Community sebagai komunitas anak muda yang memiliki itikad untuk berkontribusi terhadap Bangsa dan Negara.

Hari Tanpa Diskriminasi diperingati sebagai upaya mempromosikan gerakan solidaritas global untuk mengakhiri segala bentuk diskriminasi. Hari peringatan tersebut dicetuskan oleh program gabungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang HIV/AIDS bernama UNAIDS.

 

Diskriminasi masih terjadi di berbagai belahan dunia. Menurut UNAIDS, ketidaksetaraan seputar pendapatan, gender, usia, status, kesehatan, pekerjaan, kecacatan, orientasi seksual, penggunaan narkoba, etnis, ras, kelas, suku, dan agama masih menjadi masalah hingga saat ini.

Ketidaksetaraan tersebut tumbuh lebih dari 70 persen dari populasi global yang memicu risiko perpecahan serta menghambat pembangunan ekonomi dan sosial.

Pada Hari Tanpa Diskriminasi tahun ini, UNAIDS menentang diskriminasi yang dihadapi perempuan dan anak perempuan dalam segala keragamannya dan meningkatkan kesadaran serta memobilisasi aksi untuk mempromosikan kesetaraan dan pemberdayaan bagi perempuan dan anak perempuan

Tema Hari Tanpa Diskriminasi tahun 2023 adalah “Zero Diskriminasi terhadap Perempuan dan Anak Perempuan”, dirayakan pada 1 Maret 2023.

 

Organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara aktif mempromosikan hari itu dengan berbagai kegiatan untuk merayakan hak setiap orang untuk hidup penuh dengan bermartabat tanpa memandang usia, jenis kelamin, seksualitas, kebangsaan, etnis, warna kulit, tinggi badan, berat badan, profesi, pendidikan, dan keyakinan.

Beberapa orang menggambarkan diskriminasi seolah-olah itu adalah tradisi.

Kita harus bertindak cepat dan mencoba mengubah pola pikir ini dari Hari Tanpa Diskriminasi.

Pada akhirnya, ketidaksetaraan gender memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan semua orang.

Di banyak negara, undang-undang yang mendiskriminasi perempuan dan anak perempuan tetap berlaku, sementara undang-undang yang menjunjung tinggi hak-hak dasar perempuan dan melindungi mereka dari bahaya dan perlakuan tidak adil jauh dari norma.

Sementara di Indonesia, berdasarkan data dari catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan tahun 2021 yang dilansir oleh Komnas Perempuan pada 7 Maret 2022, bahwa terjadi peningkatan signifikan 50% kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terhadap perempuan, yakni menjadi 338.506 kasus pada 2021 dari 226.062 kasus di tahun 2020.

Lonjakan tajam terjadi pada data Badan Pengadilan Agama (BADILAG) sebesar 52% yakni dari 215.694 pada 2020 menjadi 327.629 di tahun 2021.

Peningkatan juga terjadi pada sumber data pengaduan ke Komnas Perempuan, yaitu sebesar 80% yaitu dari 2.134 kasus pada 2020 menjadi 3.838 kasus di tahun 2021.

Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terhadap perempuan & anak perempuan yang menjadi perhatian khusus pada tahun 2021 adalah kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, dunia kerja, terhadap penyandang disabilitas, dan oleh anggota keluarga (inses), kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri, anak perempuan yang dipisahkan oleh orang tua dan mengalami penelantaran, kekerasan oleh mantan suami, kekerasan dalam pacaran, kekerasan relasi personal, hak perlindungan kerja yang layak, tindak pidana perdagangan orang, penyiksaan dan perlakukan tidak manusiawi (intimidasi oleh polisi terhadap perempuan dengann hukum, penyiksaan & proses hukum yang tidak sesuai prosedur), FEMISIDA (penyiksaan & pembunuhan berbasis gender),

kebijakan diskriminatif terhadap perempuan (kriminalisasi perempuan atas nama moralitas, pemaksaan pemakaian busana keagamaan dilingkungan ASN, pembatasan hak kebebasan beragama & berkeyakinan, pemantauan pelaksanaan Qanun Jinayat), perempuan dalam konflik sumber daya alam dan tata ruang, perempuan pembela HAM, kepemimpinan & rekruitment pejabat publik.

Status positif HIV/AIDS telah memperdalam kerentanan perempuan dan berpotensi mengalami kerentanan berlapis.

Sebuah studi memperlihatkan kerentanan mereka 4 kali lipat terhadap kekerasan seksual dan 6 kali lipat rentan terhadap kekerasan fisik saat hamil. KDRT juga kerap dialami, dengan pelaku suami, pasangan, atau anggota keluarga lainnya.

Sementara komunitas paling berpotensi menstigma mereka yang membuka informasi tentang status HIV/AIDS yang disandangnya.

Data dari Komnas Perempuan memperlihatkan 12 KBG yang dialami perempuan yang hidup dengan HIV/AIDS pada 2021, terdiri dari KDRT sebanyak 7 orang dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran.

Pelakunya adalah pasangan (suami atau pacar) dan anak kandung.

Sedangkan dua kasus lainnya berupa kekerasan psikis dalam bentuk stigmatisasi terhadap perempuan penyandang HIV positif dengan pelaku tetangganya, serta membuka status perempuan dengan HIV positif tanpa persetujuan tenaga kesehatan.

Satu kasus lainnya berupa KTAP dengan HIV/AIDS berbentuk kekerasan fisik, psikis dan seksual dengan pelaku pamannya.

Sisanya kekerasan ekonomi terhadap 2 perempuan dengan HIV/AIDS yang juga merupakan korban TPPO, pelakunya adalah orang lain yang bukan keluarga.(Sumber)