Menggadaikan Kemerdekaan Peneliti Demi Jadi Seorang Politisi, Apa Kabar Indra J. Piliang Sekarang?

Peneliti dan politisi seperti satu mata koin yang berbeda sisi. Sebagai seorang politisi, selain retorika dan logika, perlu juga kiranya mendasarkan perspektif dengan data. Pun dengan peneliti, hasil dari riset yang mereka lakukan terkadang bisa merubah peta perpolitikan yang sudah ada. Kedua karir ini pernah dijalani oleh Indra J. Piliang, pria asal Sumbar yang sudah malang melintang di dunia politik, tetapi loyalitasnya hanya dihadirkan untuk Partai Golkar.

Dalam shooting tayangan konten youtube Golkarpedia dengan segmen ‘Batagor’ Bincang Tanya Seputar Golkar pada Selasa (24/01/2022), Indra J. Piliang menguak sisi terdalam dari dirinya. Termasuk ketika redaksi bertanya mengenai latar belakang karirnya sebagai seorang peneliti jika dibandingkan kehidupannya sekarang sebagai politisi.

“Kalau dilihat, menjadi peneliti adalah satu pertaruhan yang diidamkan banyak orang. Ketika saya meminta izin oleh ayah saya untuk menjadi politisi, ayah mengatakan begini. Apalagi yang kamu cari? Yang dicari dalam hidup adalah kemerdekaan,” papar Indra J. Piliang yang bernostalgia dengan pernyataan sang ayah, ketika ia meminta pendapat atas pilihan hidup antara menjadi seorang peneliti atau politisi.

Jawaban sang ayah bagi Indra J. Piliang cukup memuaskan, tetapi sayang, telah terpatri di hatinya pilihan hidup untuk menjadi seorang politisi. Jiwa petualang Indra J. Piliang ketika itu membuncah. Baginya sukses menjadi seorang peneliti harus terus diejawantahkan dengan sukses pula menjadi seorang politisi. Padahal sang ayah sempat menentang keinginannya tersebut.

“Kamu sudah merdeka ketika menjadi peneliti. Hari ini ayah bisa lihat kamu di mana saja, ayah lihat TV ada kamu, ayah buka koran ada kamu. Kenapa kamu jadi politisi? Yang jelas kamu tidak akan menikmati kemerdekaan. Saya jawab begini. Justru saya ingin merasakan bagaimana tidak merdeka,” tambah pria yang pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pakar DPP Partai Golkar ini.

Indra J. Piliang menjelaskan kepada redaksi Golkarpedia.com tentang keteguhan hatinya saat itu, mengapa ia nekat mengambil jalan lain sebagai politisi ketika karirnya sebagai peneliti mulai menanjak. Ada kebutuhan bagi pria yang akrab disapa IJP itu mengenai informasi dan hubungannya dengan lingkaran para pengambil kebijakan.

“Artinya begini. Ketika kita menjadi peneliti dan tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan para pengambil kebijakan, informasi-informasi yang disebut A1 itu, maka kita akan tidak memiliki nuansa yang keseharian,” jelas IJP secara gamblang.

Indra J. Piliang melanjutkan, bahwa sebenarnya ketika itu ia cukup menikmati karir sebagai peneliti. Tetapi tantangan kehidupan yang semakin progresif ditambah terbukanya peluang ruang intelektual di dalam tubuh partai politik saat itu membuatnya tertarik berkecimpung sebagai politisi.

“Kalau ditanya apakah saya menikmati kehidupan sebagai peneliti, mungkin pada saat itu. Tapi lama kelamaan saya berpikir bahwa akan ada jarak yang terlalu jauh dari pengambil keputusan. Sehingga menjadi politisi adalah pilihan berikutnya,” jawab Ketua Biro Kaderisasi & Keanggotaan DPD I Partai Golkar DKI Jakarta ini.

“Mana yang lebih baik? Tentu menjadi seorang politisi tapi tetap dianggap memiliki kemerdekaan. Saya dengar begitu. Banyak kawan-kawan yang mengatakan, Indra Piliang itu satu-satunya politisi yang masih merdeka,” sambungnya lagi.

Dalam kesempatan tersebut, Indra J. Piliang seperti karakternya yang gamblang dan berani, sempat menyindir elit-elit partai politik yang menurutnya kurang menghargai kemerdekaan dalam bersikap pada proses pengambilan keputusan di partai.

Indra J. Piliang memang sosok kontroversial di Partai Golkar. Dahulu saat partai bersikap mengusung Basuki Tjahaja Purnama sebagai Cagub DKI Jakarta, IJP adalah salah satu kader yang berteriak paling lantang menolak keputusan tersebut. Bahkan ketika ia mencalonkan diri sebagai Walikota Pariaman, IJP harus maju dari jalur independen karena tak dapatkan tiket partai.

Namun ia bisa memahami mengapa sikap partai dan para elit politiknya terkesan kolot. Tentu ada kepentingan yang harus diamankan. Hanya saja IJP memberikan saran agar elit partai politik manapun, untuk terbuka terhadap perbedaan.

“Elit-elit politik dewasa ini harus disadarkan bahwa kita ini lahir dari gerakan mahasiswa di kampus. Kita ini adalah aktivis-aktivis kampus. Artinya ketika suatu kali kita berbeda dengan petinggi partai misalnya, bukan berarti kita tidak loyal,” sebut IJP.

IJP pun berpesan, agar budaya intelektual lebih meresap di partai, maka seharusnya elit politik tidak hanya memelihara kader yang dianggap loyal terhadap keputusan individu per individu, tetapi juga kader yang bisa jadi teman diskusi yang sehat di tataran pengambilan keputusan kepartaian.

“Karena bagi petinggi partai yang mereka cari adalah politisi yang loyalis. Sementara bagi yang memiliki karakter intelektual, menurut saya punya loyalitas sangat tinggi pada partai, tapi ada waktu-waktu tertentu berbeda sikap dengan partai,” pungkasnya. {golkarpedia}