Titian Serabut Erwin, Sandi, dan Anies

Sejak viral di media sosial, lewat unggahan wawancara Erwin Aksa di kanal youtube Akbar Faizal, insting saya merasa tak perlu mengetahui. Tak penting. Komentar yang bermunculan sungguh beragam. Bahkan, WhatApp Grup yang saya admini, termasuk terkena paparan masalah ini.

Sepertinya, semua orang berkomentar. Kelas menengah galau atau lebih hot lagi, kelas menengah ngehe! Tanpa tabayun, seperti sering terdengar dalam bahasa ceramah, langsung bergunjing memperpanjang julur lidah. Atau dalam bahasa jurnalistik, kurang check and recheck.

Opini tak lagi bak banjir bah, tapi laksana buih di lautan luas. Bukan deru yang menakutkan, tapi sesuatu yang layak diabaikan.

Begitu praktek politik media sosial. Manakala ada isu hot, tim yang terkena serangan, sedapat mungkin tak memasang tameng Captain America. Justru sebaliknya, sinar kuat itu layak dipecah menjadi serpihan kecil. Film Armageddon yang dibintangi Bruce Wilis menunjukan itu. Meteor yang hendak membuat kiamat bumi dan planet di garis edar Bima Sakti, layak dihancurkan jadi serpihan kecil.

Siapapun yang berpengalaman di media sosial, tentu punya “teori dasar” itu.

Namun, manakala masalah yang diangkat terlalu jauh menyimpang, hingga menyerempet pribadi-pribadi yang disebutkan, tentu siapapun yang merasa berkepentingan perlu muncul. Dan atas nama itu pula, saya mencoba menelisik. Bagaimanapun, mereka adalah kawan-kawan saya, dari Rikrik Rizkyana, hingga Erwin Aksa (EA).

Tentu, saya tak hendak menjadi Malaekat Malik atau Ridwan. Devil advocaat, misalnya. Saya hanya mengandalkan model rekonstruksi historis seadanya. Singkat. Sebab, kalau menjalankan peran advokat seperti Keanu Reeves itu, aktor Al Pacino-nya belum ketemu saja.

Bersua Erwin, bertemu Anies, diskusi dengan Sandiaga, juga ngopi bareng Rikrik, berikut becanda ria dengan Akbar Feizal, sungguh kemewahan yang luar biasa dewasa ini. Dalam tahapan pemilu yang sedang berjalan, jauh lebih berarti bersua satu, dua, atau tiga orang konstituen di daerah pemilihan saya, ketimbang berada dalam lingkaran selebritas yang wah itu.

Hanya satu orang yang sempat saya tanya, kemaren pagi, yakni EA. EA sedang menyantap breakfast-nya di Singapura sana. Saya ajukan dua-tiga pertanyaan yang langsung dijawab spontan oleh Erwin.

IJP: Apa itu, Bro? Viral sekali soal wawancara dengan Akbar?

EA: “Gue juga nggak tahu. Gua hanya lihat. Dan menyampaikan apa yang sudah diketahui publik.”

IJP: Bro berarti sedang ‘menembak’ Anies dan Sandi sekaligus?

EA: “Gue hanya menyampaikan sesuatu yang perlu disampaikan Sandi. Gue ingin Sandi to be gentle! Kalau memang ada piutang, kenapa tidak ditagih?”

IJP: Apa sebetulnya yang terjadi?

EA: “Pak JK saja heran. Sebagai ghost player dalam Pilgub DKI 2017, gue hanya ditugaskan Pak JK untuk menyusun pointers Tugas Gubernur dan Tugas Wakil Gubernur. Dan sama sekali tak ditanda-tangani. Gue sampaikan pointers itu kepada Pak JK. Untuk biaya, gue menangani Dana Saksi.”

((Nah, keterangan ini perlu saya masukan klasifikasi off the record, menyangkut dana politik yang disiapkan EA, plus kepada siapa diberikan.))

“Makanya gue heran, kenapa ada masalah hutang-piutang seperti ini. Dan gue sama sekali baru tahu. Gue lihat koq kwitansi di tangan Rikrik,” lanjut EA.

Dibanding EA, saya lebih dulu muncul di publik sebagai politisi Partai Golkar yang loyal terhadap Anies – Sandi. Alasan saya, tak berkaitan dengan EA, apalagi dengan Pak JK, atau siapapun.

Bersebab, saya bertemu Anies sejak tahun 1994, berkawan ketika ia berada di Amerika Serikat, sering kirim-kiriman bahan, polemik di sejumlah koran, seperti Jawa Pos dan Koran Tempo. Disertasi Anies terkait desentraslisasi, banyak berkaitan dengan sejumlah proyek dan penelitian yang saya lakukan di Indonesia, ketika Anies berada di Amerika Serikat.

Sementara dengan Sandi, saya bertemu di awal ia mulai muncul di kalangan Tionghoa. Saya kebetulan jadi anggota Dewan Pakar Perhimpunan Indonesia – Tionghoa (INTI) sudah puluhan tahun. Kawan-kawan saya di lingkaran satu Sandi pasti tahu, saya tak bisa diperantarai.

Sebelum berjumpa EA dalam suatu acara konferensi pers di sebuah restoran Jalan Cik Di Tiro, saya memang berkomunikasi dengan Pak Aksa Mahmud. Kebetulan, saya sering sholat Jumat di Mesjid Sunda Kelapa, lalu mampir ke ruang kerja Pak Aksa yang menjadi Ketua Dewan Kesejahteraan Mesjid Sunda Kelapa.

Mesjid Sunda Kelapa berada di depan Rumah Dinas Wakil Presiden, Jalan Diponegoro Nomor 2. Tas kulit warna hitam yang saya bawa hingga kini, saya beli di pelataran Mesjid.

Anies usai acara di restoran itu menggunakan helikopter yang disiapkan EA. Saya beberapa kali naik helikopter itu, termasuk ketika berangkat ke Serang, Banten, bersama Bang Aburizal Bakrie dan Ace Hasan dalam rangka pelantikan kepengurusan revisi DPD Partai Golkar Provinsi Banten.

Bahkan, saya yang diminta Bang ARB membacakan Surat Keputusan, walau bukan pengurus harian. Kesempatan lain, dari Bulukumba menuju Makassar, juga dalam rangka pengawalan Bang ARB yang melihat galangan pembuatan kapal phinisi.

Apa yang saya lakukan pada Pilgub DKI 2017, sangat personal. Saya tetap mengirimkan laporan kepada Pak Agung Laksono, Ketua Dewan Pakar Partai Golkar. Pun kerdip mata dengan Mbak Titiek Soeharto, Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, setelah muncul foto Mbak Titiek dengan Anies-Sandi. Atasan saya di Partai Golkar, Pak Agung Laksono, tak meminta saya mundur total.

Di jajaran Tim Kampanye Anies-Sandi, saya berkoordinasi tiap minggu dengan Bang Muhammad Taufik, Ketua KAHMI DKI Jakarta. Hubungan saya dengan Bang Taufik juga sudah berbilang tahun. Untuk pergerakan di Jakarta Utara, saya dapat perintah dari Bang Sabri Saiman.

Jadi, apa yang terjadi di lingkaran EA terkait dukungan terhadap Anies-Sandi, saya merasa tak ingin tahu juga. Tak baik bagi wajah Partai Golkar. Apalagi, masuk ke masalah kwitansi Anies – Sandi, jauh sekali dalam benak dan pikiran saya.

Bagi saya, apa yang dilakukan EA dalam kaitannya dengan masalah hutang piutang, atau lebih baik ditulis “hutang-piutang”, lebih mengacu kepada teknik interupsi dalam Latihan Kader I Himpunan Mahasiswa Islam. Pimpinan Sidang, apalagi dengan jabatan hebat seperti Master of Training, tentu tak sekadar melihat ada peserta interupsi.

“Interupsi apa?” begitu tanya Sang Pemilik Palu.

“Point of clarification!”

“Point of previlege!”

“Point of order!”

“Point of justification!”

“Point of lobbying, Pimpinan!”

Dan jenis interupsi yang lain, tentunya.

Lalu, dalam kategori apa saya membingkai dan menempatkan apa yang viral dalam hari Senin kemaren, bisa jadi minggu ini?

Satu saja: “Point of friendship, majesty!”

EA adalah kawan yang baik. Walau bukan teman yang masuk kategori bergaya tajir. Siapapun tahu, EA tak mudah dalam hal pemberian uang, atau dana politik. Ketika menjadi Juru Bicara JK-Wiranto yang bermarkas di Jalan Mangunsarkoro yang disiapkan Solihin Kalla, anggaran saya disiapkan Johan Silalahi.

Tapi, kalau mau pinjam fasilitas dari bisnis perhotelan atau pinjem pesawat jet pribadi, mesti pakai alasan yang jelas. Dan tak gratis, tentu. Korting harga, misalnya. Bersama Poempida Hidayatullah, saya tiba hari kedua gempa bumi di Sumatera Barat tahun 2009, naik pesawat pribadi yang disiapkan EA, plus logistik di dalamnya. Bantuan pertama yang saya bawa ke kampung saya, tentu saja.

Selebihnya, EA adalah kawan. Bakal membalas setiap chat, walau hanya dengan “hahaha”. EA tak pandai gunakan emoticon, sebagaimana saya juga.

Saya meyakini itu. Tak ada nada mempertaruhkan pertemanan, seujung kuku sekalipun, dalam diri EA. Bagi EA, politik adalah seni mendapatkan kawan. Tak lebih. Tapi bisa kurang dari itu.

“Breathe. It’s just bad day, not a bad life,” cuit EA.

Saya sempat kirim gimmick, amplop tertutup yang dikirim Tim EA ke Markas Gerilyawan. Saya seolah yakinkan pembaca, isinya dokumen terkait “perjanjian” Anies dengan Sandi. Padahal, bukan. EA mengirim satu buku yang wajib saya baca berjudul the Centrist Manifesto, karya Charles Wheelan.

EA tahu, saya sedang mengerjakan sesuatu, terkait hutang piutang saya kepada Partai Golkar, pun Ketua Umum Airlangga Hartarto, dalam mengeja the Middle Way Party Manifesto. Bukan, saya tak bicara Antony Giddes dengan Jalan Ketiganya, atau Aliza Izetbegovic dengan Islam Jalan Tengahnya. Saya bicara Partai Golkar, dan Airlangga Hartarto. Titik.

Jakarta, 07 Februari 2023

Oleh Indra J. Piliang