Sudahkah Netizen Indonesia Miliki Etika di Dunia Digital?

Pada tahun 2020, perusahaan Microsoft memublikasikan survei Digital Civility Index (DCI) atau indeks kesopanan digital. Survei yang dilaksanakan pada 22 April – 15 Mei 2020 tersebut melibatkan 16.051 penjawab dengan rentang usia 18 – 74 tahun yang berasal dari 32 negara di dunia. Berdasarkan hasil survei, Indonesia mendapatkan skor 76 dan menempati urutan ke-29 dari 32.

Selain itu, Indonesia termasuk ke dalam global hot spots for sexual risks dengan tingkat persentase 42% dan berada di urutan kedelapan dari sepuluh.

Lebih lanjut, sumber dari kekerasan yang terjadi di dunia digital di negara ini di dominasi oleh netizen, di banding pihak internal yaitu keluarga dengan perbandingan skor 125 banding 82.

Pada kategori lainnya, interaksi tidak beradab yang berkaitan dengan politik di Indonesia menunjukkan skor 96. Hal ini menunjukkan bahwa ruang digital Indonesia sangatlah tidak aman.

Kemajuan zaman yang mempermudah proses interaksi tidak serta-merta memajukan peradaban. Berbeda dengan interaksi secara langsung yang di mana identitas seseorang dapat terlihat dengan jelas, interaksi melalui media sosial memungkinkan pengguna nya untuk menyembunyikan identitas atau anonim.

Kesempatan ini dapat dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk melakukan tindakan yang tidak beradab di ruang digital.

Perkembangan teknologi yang tidak di imbangi dengan pengetahuan yang cukup untuk menggunakan teknologi akan berakibat fatal seperti yang tertera pada data di atas.

Tindak kejahatan di dunia digital dibagi menjadi 4 golongan, yaitu risiko intrusif, risiko perilaku, risiko seksual dan risiko reputasi. Beberapa di antaranya adalah hoax, kebencian, kebencian terhadap wanita (misogyny), trolling, pelecehan daring, perundungan siber dan swatting.

Di ruang digital, etika dalam berinteraksi melalui media digital disebut sebagai netiket, berasal dari hasil leburan dua kata, yaitu network dan etiquette.

Pengguna harus menerapkan netiket baik saat interaksi secara personal melalui direct message di media sosial maupun melalui email, serta interaksi secara umum melalui forum komunitas terbuka.

Makna dari netiket itu sendiri adalah untuk menyadarkan pengguna bahwa kita berinteraksi dengan manusia yang wujudnya valid, tidak semata-mata berinteraksi bersama robot atau huruf dan angka yang tertera pada layar monitor atau smartphone yang tidak memiliki perasaan.

Sama seperti keinginan untuk di hargai dan di hormati oleh orang lain, dalam berinteraksi pengguna juga harus dapat saling memanusiakan manusia.

Jejak digital yang terus tersimpan taklekang waktu juga menjadi alasan untuk menerapkan netiket. Tindak kejahatan yang telah dilakukan oleh pengguna akan terus tersimpan dan dapat menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

Parahnya lagi, jejak digital atas kejahatan yang menimpa korban akan terus ada dan akan terus menghantui korban yang kemudian menciptakan rasa sakit, kecemasan hingga trauma. Korban akan mengalami ketakutan jika kejahatan itu akan menimpanya lagi di masa yang akan datang.

Hasil survei Microsoft dapat dimaknai bahwa tidak sepenuhnya netizen Indonesia menerapkan netiket di dunia digital. Lantas mengapa netizen Indonesia kurang memiliki kesadaran terhadap netiket? Faktor ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan dan kondisi ketidakpastian yang dirasakan oleh sejumlah netizen, kemudian memunculkan perasaan frustrasi terhadap keadaan.

Selain itu, tindakan tidak beradab yang dilakukan di media digital adalah pelarian dari tindakan yang tidak dapat dilakukan di dunia nyata. Media digital menjadi wadah yang sangat strategis untuk menyalurkan emosi atau perasaan negatif di diri tanpa membuka identitas.

Faktanya, keadaan seperti ini muncul semenjak pemilihan presiden tahun 2014. Mirisnya, tindak kejahatan tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa saja, namun juga anak-anak.

Murahnya tarif internet di Indonesia membuat siapa saja dapat menggunakannya, terlebih kondisi pandemi yang mengharuskan Pendidikan dilaksanakan secara daring menurunkan angka minimal penggunaan media sosial. Kini, anak usia 6 tahun saja sudah menjadi pengguna media sosial.

Kurangnya kesadaran netizen terhadap netiket dapat diartikan bahwa tidak semua netizen Indonesia memiliki mental health resilience dan digital resilience.

Mental health resilience adalah kemampuan untuk beradaptasi dalam situasi sulit, seperti saat sedang stres. Netizen harus memiliki kemampuan mencari pertolongan orang lain dibanding memendam sendiri yang kemudian menciptakan dendam dan menyebarkan emosi negatif kepada orang lain di media digital.

Digital resilience adalah kemampuan individu dalam membentengi diri, menyerap informasi, dan membagikan informasi di dunia digital. Dengan melakukan tindakan tidak beradab di dunia digital, berarti pengguna tersebut tidak dapat membentengi diri.

Dalam bermedia digital, sebaiknya kita berpikir kembali sebelum membalas chat atau memberi komentar kepada orang lain.

Jika menemui pendapat yang berbeda dengan pendapat diri sendiri, sebaiknya pengguna dapat menghormati sudut pandang orang lain karena tidak semua pendapat harus sama. Pengguna juga harus dapat memperlakukan pengguna lainnya dengan martabat dan rasa hormat.(Sumber)