Tekno  

Melawan Invasi Kecerdasan Buatan dengan Cerdas

Benturan peradaban akan selalu terjadi antara Timur dan Barat. Namun, saat ini benturan peradaban cenderung terjadi antara manusia dan kecerdasan buatan. Mesin-mesin pintar itu sudah mengalahkan manusia secara telak.

Pekerjaan manusia habis dilibas robot-robot cerdas. Pendidikan tidak lagi membanggakan. Gelar hanya dikagumi di lingkungan akademisi. Semua orang saat ini bisa menjadi pakar apa saja.

Pakar politik iya, pakar ekonomi juga bisa.
Kemunculan Chat GPT lebih mengerikan lagi. Pertanyaan sederhana dijawab dengan detail dan serasa bercakap-cakap dengan manusia. Bahkan skripsi, tesis dan disertasi dibuat dengan baik oleh Chat GPT.

Meskipun hanya dua lembar, namun sudah cukup memberikan garis besar apa yang kita inginkan dari judul yang kita sodorkan.

Manusia terasa diolok-olok kecerdasannya di depan Chat GPT. Bagaimana agar kita tidak menjadi rendah di hadapan kecerdasan buatan?

Saya sudah mencoba chat GPT beberapa hari terakhir ini. Meskipun masih banyak jawaban-jawaban ngawurnya, misalnya saja saya menanyakan buku saya “Memanah Bulan di Kuala Lumpur” dengan cepatnya chat boat itu menjawab bahwa buku itu adalah tulisan sastrawan Indonesia, Muchtar Lubis.

Setelah mengetas beberapa hal, saya menyimpulkan bahwa Chat GPT masih dalam fase percobaan, dan akan menjawab apapun pertanyaan umum dengan apa yang ada dalam programnya.

Muhctar Lubis memang punya buku yang diterbitkan di Kuala Lumpur dan dipukul rata saja oleh si Chat GPT jika ada yang menanyakan novel yang bertema Kuala Lumpur.

Namun, ke depan perkembangan Chat boat ini bisa jadi semakin ngeri, saat ini, umurnya baru 5 bulan diluncurkan dan sudah diunduh lebih dari 100 juta kali. Cukup lama saya tadi bercakap-cakap dengan chat GPT.

Ada satu pertanyaan saya yang cukup lucu. Saya menanyakan kenapa dia begitu cerdas. Jawabanya, “Terima kasih atas pujianmu, saya dibuat bertahun-tahun lamanya”. Dan, jika ada informasinya yang salah dia akan minta maaf.

Ketika saya sudutkan bahwa informasinya salah, dia akan berkata “Saya hanyalah kecerdasan buatan yang tidak terhubung ke internet”.

Kemudian saya tanyakan lagi, “Apakah betul kamu tidak terhubung ke internet?”, dan si Chat GPT menjawab, “Saya minta maaf, saya terhubung ke internet dan apa yang saya bisa bantu?”.

Tidak lupa saya menginformasikan bahwa kehadirannya merisaukan banyak orang dan si Chat GPT yang langsung membantah saya bahwa dia bukanlah saingan manusia, namun diciptakan untuk membantu manusia.

Serasa bertengkar dengan teman akrab yang lama tidak ketemu. Begitu mengerikan serasa bercakap-cakap dengan manusia. Agar tidak semakin tersudutkan dengan kemampuan Chat GPT, ada beberapa hal bisa kita lakukan.

Yang pertama adalah, menjadi manusia yang up to date. Manusia dengan potensi pikun di usia 40-an, sebaiknya mulai memasukkan aktivitas upgrade ilmu dalam keseharianya. Kurangi scroll-scroll medsos yang hanya mempertontonkan hal-hal yang kurang bermanfaat dan membuat bodoh.

Contohnya menonton orang mandi lumpur secara live dan perbuatan-perbuatan rendahan lainnya. Ganti dengan mengikuti webinar atau seminar atau apa saja yang meningkatkan kemampuan dan nalar berpikir kita.

Yang kedua, memiliki kompetensi kedua yang beda dari kompetensi kita dalam pekerjaan. PHK saat ini rentan melanda, ketika PHK terjadi, kita sudah siap untuk melangkah ke chapter selanjutnya menggunakan keterampilan kedua untuk survive. Jangan mau kalah dengan kecerdasan buatan. Mereka hanya mesin dan kita adalah manusia. Takluk di depan mesin rasa-rasanya sulit diterima.

Yang ketiga, menjadi orang yang berlari dalam arus informasi yang krusial. Menguasai informasi membuat kita bisa mengetahui perkembangan dunia sehingga bisa mengantisipasi perubahan yang terjadi.

Misalnya apakah negara kita sudah resesi atau belum. Kecerdasan buatan terhubung dengan sumber-sumber data. Pastikan kita juga terhubung dengan sumber-sumber data. Jangan malas untuk menguasai informasi, lambatnya tindakan kita bisa menyebabkan aset-aset yang kita miliki hilang.

Yang terakhir, bergabung dengan komunitas yang berguna. Tinggalkan komunitas yang hanya mendegradasi kita. Waktu makin berguna. Carilah komunitas-komunitas yang berkualitas. Yang bisa meningkatkan nilai diri kita. Dengan begitu, mau dihadapkan pada benturan apapun, kita bisa bertahan karena memiliki kompetensi maksimal.(Sumber)