News  

Indonesia, Negeri Para Mafia

Mafia selalu konotasinya negatif. Belum dengar ada mafia kebaikan. Selalu terkait kejahatan. Kejahatan dalam berbagai hal. Bukan saja terkait mafia narkoba. Malah telah merambah semua lini kehidupan.

Konon kasus Polisi Sambo juga dikait-kaitkan soal adanya mafia di jajaran kepolisian. Selain mafia bisnis hitam, narkoba, judi dan prostitusi. Nilainya ratusan triliun rupiah. Konon juga ada yang menyebut mafia terorisme. Kasus ACT misalnya. Rakyat tak pernah tahu bagaimana nasib uang donasi yang disita oleh polisi.

Tak luput juga soal mafia minyak goreng yang sempat menjadi sorotan publik beberapa bulan yang lalu. Minyak goreng melambung tinggi. Harganya tak kira-kira. Naik 100 persen lebih. Rakyat hanya bisa mengeluh dan pasrah. Tak berani berbuat apa-apa menghadapi lonjakan harga minyak goreng yang diluar akal sehat itu.

Mafia itu operasinya diam-diam. Rahasia. Sadis dan kejam. Cenderung tidak berperikemanusiaan. Bahkan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian mafia adalah perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan atau dikenal dengan kriminal.

Parahnya lagi jika mafia sudah merambah dunia politik. Mafia penguasa sekaligus pengusaha. Memperdagangkan jabatan publik untuk mengeruk keuntungan finansial dan politik melalui afiliasi perusahaan yang dimiliki atas nama orang lain. Ada juga melalui pembagian saham gratis. Asal bisnisnya dilindungi. Meski rakyat dirugikan.

Inilah yang disebut mafia politik. Partai politik bersama-sama penguasa dan pengusaha membentuk jaringan mafia politik. Menjadi bagian dari mafia politik untuk melakukan kejahatan politik secara bersama-sama. Tanpa melihat penderitaan rakyat.

Misalnya saja tanpa rakyat sadari. Mafia politik telah berhasil mengubah konstitusi Indonesia. Kedaulatan berada ditangan rakyat. Sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang- undang dasar.”

Kedaulatan berada ditangan rakyat kini telah bergeser menjadi kedaulatan berada di tangan partai politik. Partai politik telah membatasi hak warga negara melalui amandemen UUD 1945 empat tahap pada tahun 1999-2002. Kabarnya ketika itu, uang masuk berkarung-karung ke gedung MPR.

Contohnya adalah soal _presidential threshold_ dan pemberhentian anggota DPR/DPRD oleh partai politik. Dalam Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 menyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.

Menurut Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Dengan adanya hak recall atau pemberhentian terhadap anggota DPR/DPRD oleh partai politik telah menggeser sistem perwakilan. Dari perwakilan rakyat menjadi perwakilan partai politik.

Disinilah celah mafia politik bermain. Jual beli presidential threshold dan membungkam aspirasi wakil rakyat untuk membela kepentingan partai politik.

Untuk maju sebagai calon presiden maupun anggota DPR/DPRD mestilah punya logistik yang kuat. Semua serba uang. Dikit-dikit uang. Dari yang jumlahnya terkecil hingga nilainya triliunan. Dari desa hingga ke istana.

Banyak kepala daerah ditangkap KPK karena terjerat mafia jabatan. Pengusaha terlibat mafia proyek. Tak menutup kemungkinan menteri dan presiden bagian dari mafia politik.

Ini yang dikhawatirkan rakyat. Mafia pemilu. Mengatur-ngatur siapa bakal calon presiden yang bisa lolos dan yang tidak bisa lolos. Termasuk mengatur dan mendesain pemenang pemilu baik pileg maupun pilpres.

Seperti kata idiom, tak ada makan siang gratis. Begitulah kira-kira yang kerab kita dengar dalam dunia politik. Korbannya tentu saja rakyat kecil. Sementara perut para mafia makin buncit.

Bandung, 2 Dzulqa’dah 1444/22 Mei 2023
Tarmidzi Yusuf, Kolumnis