News  

Ngeri! Politisasi Polarisasi Upaya Penjegalan Capres Tertentu

Dalam pemilihan tingkat manapun pasti akan ada polarisasi. Misalnya di sekolah. Pemilihan Ketua OSIS. Pendukung A, B dan C. Massa pendukung dan pemilih terpolarisasi dalam tiga calon. Fenomena biasa saat sekolah dulu.

Tingkat terkecil misalnya Rukun Tetangga (RT). Ada yang pro dengan calon Ketua RT tertentu. Ada pula yang kontra. Polarisasi antara calon Ketua RT yang ia dukung dengan calon yang tak ia dukung. Lumrah dalam kehidupan keseharian kita.

Apalagi pemilihan tingkat nasional. Pemilihan presiden dan anggota legislatif. Terjadinya polarisasi antar calon presiden (capres) yang satu dengan calon presiden yang lainnya merupakan konsekuensi logis dari Indonesia menganut sistem demokrasi.

Selesai pilpres, idealnya selesai pula polarisasi. Tak berlanjut menjadi friksi. Yang tak boleh terjadi itu friksi yang mengarah kepada perpecahan dan konflik sosial.

Polarisasi politik memiliki definisi yakni fenomena dua kelompok berpaham dan berpandangan yang berbeda secara politis. Kata ‘polarisasi’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya adalah pembagian atas dua bagian.

Dua bagian antara yang pro dan kontra. Antara calon presiden yang ia dukung dengan yang tak ia dukung. Selesai pilpres tentu saja bersatu kembali. Bisa? Pasti bisa. Kita sudah terbiasa dengan pemilihan RT dan kepala desa. Pilpres 2004 dan 2009 buktinya. Diikuti lebih dari 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Setiap pertarungan pemilihan mulai dari RT hingga presiden pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Ibarat dua kesebelasan sepak bola yang sedang bertarung. Penonton terpolarisasi. Tak pernah terjadi seri. Menang jangan jumawa. Kalah tak putus asa. Yang Menang jangan angkuh. Yang kalah jangan marah. Dan seterusnya.

Yang tak boleh itu polarisasi mengarah terjadinya friksi. Yaitu pergeseran yang menimbulkan perpecahan. Perpecahan yang mengarah konflik sosial. Perbedaan pilihan yang tak menimbulkan perpecahan. Terpolarisasi sementara selama masa pemilihan.

Jangan pula ada yang melakukan pembenaran dengan alasan agar tak terjadi polarisasi. Seperti seorang presiden ikut cawe-cawe dengan alasan agar tak terjadi polarisasi. Pilpres pasti terjadi polarisasi. Yang tak boleh itu polarisasi yang mengancam persatuan.

Membungkus isu polarisasi dengan alasan terjadinya keterbelahan masyarakat seperti terjadi pada pilpres 2014. Pilpres 2019 terjadi sebaliknya. Calon presiden yang menang dan kalah bersatu dalam satu pemerintahan.

Jangan sampai ada pihak-pihak yang bersembunyi dibalik trauma polarisasi untuk menjegal calon presiden yang tak presiden dan kroni-kroninya kehendaki. Pilpres 2024 yang hanya diikuti “all the president men” dengan mempolitisasi polarisasi.

Bandung,
10 Dzulqa’dah 1444/30 Mei 2023
Tarmidzi Yusuf, Kolumnis