Presiden secara terang-terangan mengaku melakukan cawe-cawe di Pilpres 2024 demi urusan negara. Cawe-cawe adalah ikut membantu mengerjakan segala sesuatu yang berurusan dengan Pilpres 2024.
Urusan negara yang mana? Soalnya banyak kebijakan presiden yang tak pro negara. Lebih condong ke negara China. Sebut saja soal banjirnya TKA China yang masuk ke Indonesia dan dugaan tentara China yang menyamar sebagai TKA dengan alibi melindungi aset, investasi dan keselamatan TKA China.
Belum lagi Proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Nilai proyek KCIC berlipat ganda jika dibandingkan dengan kereta cepat di Arab Saudi yang menelan anggaran sekitar Rp100 triliun. Proyek kebanggaan Saudi itu memliki jarak 450 kilometer.
Sementara jarak kereta cepat Jakarta-Bandung hanya 142,3km dengan anggaran Rp 108,14 triliun. Biaya total proyek KCIC yang berlangsung sejak 2016 itu kini mencapai 7,27 miliar dollar AS atau setara Rp 108,14 triliun.
Nilai pembengkakan ini sudah jauh melampaui investasi dari proposal Jepang melalui JICA yang memberikan tawaran proyek KCJB sebesar 6,2 miliar dollar AS dengan bunga 0,1 persen.
Presiden cawe-cawe dengan alasan polarisasi bisa mengatur siapa yang boleh ikut pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif. Siapa pula calon presiden yang tak boleh ikut kontestasi lima tahunan dengan alasan menghindari polarisasi.
Presiden pula ikut cawe-cawe siapa calon presiden yang bakal dimenangkan dan siapa calon presiden yang bakal dikalahkan. Pilpres didesain untuk memenangkan calon presiden yang direstui presiden.
Presiden juga ikut cawe-cawe anggota legislatif yang lolos dan yang tak lolos ke Senayan. Tak berhenti disitu. Presiden cawe-cawe partai politik yang lolos dan tak lolos ke Senayan. Asal mendukung calon presiden yang ia dukung.
Walaupun lokomotif partai alias partai gerbong kosong mendukung calon presiden yang tak didukung konstituen asal bisa lolos parliamentary threshold yang 4 persen itu.
Presiden cawe-cawe melakukan pembenaran dengan alasan agar tak terjadi polarisasi. Pilpres pasti terjadi polarisasi. Yang tak boleh itu polarisasi yang mengancam persatuan.
Membungkus isu polarisasi dengan alasan terjadinya keterbelahan masyarakat seperti terjadi pada pilpres 2014 dan 2019. Pilpres 2019 terjadi sebaliknya. Calon presiden yang kalah bergabung menjadi menteri calon presiden yang menang.
Jangan sampai ada pihak-pihak yang bersembunyi dibalik trauma polarisasi untuk menjegal calon presiden yang tak presiden dan kroni-kroninya kehendaki. Pilpres 2024 yang hanya diikuti “all the president men” dengan mempolitisasi polarisasi.
Cawe-cawe presiden berpotensi penyelenggaraan pemilihan umum berlangsung curang. Ketidaknetralan presiden bisa menekan lembaga penyelenggara dan peradilan pemilu. Apalagi adanya Polisi RW yang dinilai akan ikut cawe-cawe seperti dugaan keterlibatan Satgasus Merah Putih tahun 2019 yang lalu.
Jakarta, 11 Dzulqa’dah 1444/31 Mei 2023
Tarmidzi Yusuf, Kolumnis