Tekno  

ChatGPT Bikin Jasa Freelance Content Writer Makin Tidak Dihargai

Secara khusus, tulisan ini bukan bermaksud untuk menyangkal kehadiran ChatGPT. Sebagai orang yang bekerja di dunia kreatif, bagi saya, tools ini tentunya sangat membantu.

Namun di balik kecerdasan yang dimilikinya, ternyata masih ada orang yang menganggap ChatGPT sebagai dewa yang bisa melakukan segalanya dan mengerdilkan peran manusia dengan bayaran murah.

Padahal, ChatGPT hanya tools untuk membantu kinerja manusia. Bagaimana pun, proses input ide dan sentuhan akhir yang membuat tulisan jadi menarik tetap membutuhkan peran manusia — yang tentunya membutuhkan kemampuan tertentu dan jam terbang dalam menulis.
Freelance Underpaid

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa dunia kerja, khususnya bagi para freelancer itu nggak adil. Apalagi untuk para pekerja lepas di dunia kreatif seperti content writer.

Sebabnya, apalagi kalau bukan karena bayaran yang murah dan tidak masuk akal. Seolah menihilkan kemampuan khusus yang sudah bertahun-tahun dipelajari.

Jadi, belum lama ini saya baru saja menemukan loker seram di Twitter. Dalam postingan di salah satu akun menfess, si pemberi lowongan menyebutkan fee yang diterima penulis per artikelnya itu Rp1.000 dengan menggunakan ChatGPT sebagai tools utamanya.

Paham, sih, kita semua butuh pekerjaan untuk mendapatkan uang. Tapi, mbok ya nggak gitu caranya. Dengan durasi yang lebih cepat, kang parkir saja bisa dapat minimal Rp2.000 per motor yang ditariknya, lho.

Lebih menyebalkannya lagi, dalam postingan itu disebutkan bahwa “1.000 artikel = Rp1 juta. Ditransfer tiap minggu sesuai jumlah artikel”. Ya, meng-highlight perbandingan jumlah artikel dan nominal yang akan didapatkan untuk menarik orang seolah akan mendapatkan keuntungan besar dalam waktu singkat. Tapi, 1.000 artikel? Saya kira Bandung Bondowoso pun nggak sanggup kalau bukan karena permintaan Roro Jonggrang.

Lagi pula, sekalipun sudah mempunyai keyword khusus, namun membuat artikel dengan ChatGPT dan menjadikannya menarik tidak semudah itu. Kecuali kalau memang ingin membuat artikel sekadarnya yang rawan misleading, plagiasi, dan tentunya ‘robot’ banget

Buat Artikel di ChatGPT Tidak Semudah Itu

Lagi-lagi, saya tidak perlu menyangkal kehadiran ChatGPT yang sangat berguna. Namun, sebagaimana robot pada umumnya, ChatGPT tetap membutuhkan keterlibatan manusia sebelum produk akhirnya menjadi konsumsi orang banyak.

Ada beberapa alasan yang membuat tools ini nggak bisa standalone sehingga membutuhkan kerja manusia di dalamnya. Selain membutuhkan input perintah dari manusia, berikut ini beberapa hal yang belum sepenuhnya bisa dilakukan ChatGPT:

1. Keterbatasan informasi
Sudah pernah menggunakan ChatGPT untuk mendapatkan informasi terkini? Kira-kira, bagaimana tanggapannya? Kalau menurutmu belum memuaskan, ya itu lah salah satu kelemahannya.
Pasalnya, informasi yang dihimpun oleh ChatGPT hanya sampai pada September 2021 saja. Jadi, kamu nggak akan cukup terbantu kalau ingin membuat artikel terkini yang sedang menjadi tren. Mau tak mau, ya harus tulis manual

.
2. Membutuhkan verifikasi informasi
Sehubungan dengan terbatasnya informasi yang mereka miliki, kita sebagai user pun nggak bisa sepenuhnya percaya dengan apa yang disampaikan ChatGPT.

Sebagai seorang penulis artikel, mungkin saja kita terbantu dengan kerangka penulisannya, tapi tidak dengan informasi yang ada di dalamnya.

Pasalnya, nggak semua informasi yang tercantum akurat. Nah, peran manusia sebagai proofreader menjadi penting di sini karena nggak bisa (atau belum) tergantikan dengan kecerdasan buatan.

3. Kalimat yang kaku dan robot banget
Sebagai robot, ChatGPT tentunya tidak bisa disandingkan dengan manusia yang mempunyai perasaan. Jadi, tulisan yang didapat dari ChatGPT hanya sekadar menampilkan informasi tanpa adanya sentuhan personal yang membuatnya garing dan monoton karena nggak ada ‘nyawa-‘nya.

Lantas, apa yang harus dilakukan? Tentunya, di sini lah peran manusia untuk memberikan input berupa editing supaya tulisan memiliki daya tarik lebih saat dikonsumsi para pembacanya.

Sejauh pengalaman saya dalam menggunakan tools ini, kita nggak bisa berharap banyak untuk memberikan sentuhan personal dalam tulisan sekalipun sudah memasukkan keyword khusus. Ya namanya juga robot, mau berharap sejauh mana, sih?

Dengan beberapa kelemahan di atas, mau bagaimana pun, peran manusia dengan segala kemampuan dan pengalamannya sudah pasti dibutuhkan untuk membuat produk akhir yang layak dikonsumsi banyak orang.
Toh sebagai seorang penulis pun, walaupun butuh duit, tapi kami tetap mempunyai tanggung jawab moral untuk menyajikan informasi secara akurat yang menjadi sumber informasi pembaca.

Lagi-lagi, ChatGPT hanya sekadar alat yang diperbantukan untuk meningkatkan produktivitas, dan bukan pelaku utama dalam menghasilkan sebuah produk. Jangan semata-mata karena ada alat baru, lantas menihilkan kerja keras dan kemampuan seseorang yang sudah belajar bertahun-tahun, ya gaes ya!(Sumber)