Tekno  

Sisi Gelap AI: Melemahkan Otak dan Daya Berpikir Kritis

Sejak pertama rilis pada 2022, kehadiran produk teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) telah menuai pro dan kontra. Menurut prediksi World Economic Forum 2020, AI akan menggantikan 85 juta pekerjaan di 2025. Dalam laporan yang sama, 97 juta pekerjaan baru akan hadir dan menyesuaikan dengan era digital yang membutuhkan keterampilan baru untuk kebutuhan tenaga kerja industri.

Terbaru, perdebatan mengenai AI adalah perihal keberadaannya yang dapat menggerus fungsi otak untuk berpikir. Hasil penelitian Massachusetts Institute of Technology (MIT) menemukan, penggunaan AI atau berupa ChatGPT dalam penulisan esai dapat membuat fungsi otak kian menurun. Penelitian tersebut merupakan hasil perbandingan dengan mereka yang menulis esai dan mengandalkan daya kemampuan otak secara mandiri.

MIT meneliti 54 orang yang diminta untuk menulis 4 esai. 54 orang tersebut dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka menulis dengan menggunakan bantuan ChatGPT, kedua menggunakan bantuan mesin pencarian internet tanpa AI, dan ketiga hanya mengandalkan kemampuan otak secara mandiri.

Dalam penelitian yang sama menunjukkan, orang yang terlanjur menggunakan AI akan terkesan pasif dan tidak memiliki inisiatif dalam mencari ide dan topik mengenai tulisan. Terlebih saat perangkat teknologi ChatGPT hingga AI dicabut, orang tersebut semakin rentan dan kesulitan untuk menulis esai.

Orang yang bergantung pada sistem AI akan menjadi pasif dan kehilangan kemampuan kritis dalam berpikir dibanding mereka yang percaya diri dengan kemampuan akalnya,” dikutip dari hasil penelitian yang dipublikasi ulang oleh The Telegraph, Selasa (17/6/2025).

Dari analisa dampak pasca penulisan, mereka yang bergantung pada AI atau ChatGPT tidak memiliki kesan atas hal yang mereka tulis, bahkan banyak dari mereka yang lupa mengenai topik tulisannya. Sedangkan mereka yang menulis secara mandiri tanpa ketergantungan AI atau mesin cari, masih memiliki kenangan atau ingatan terhadap hal yang mereka tuliskan dan mampu menjelaskannya secara detail mengenai isi tulisan.

Peniliti MIT mengingatkan kepada setiap pendidik di semua level sekolah, bahwa AI memiliki bahaya jangka panjang bagi para murid jika digunakan tanpa adanya pendampingan. Secara eksplisit bahaya AI bagi pendidikan anak, dalam artikel MIT disebut dengan “Kekhawatiran tentang implikasi pendidikan jangka panjang.”

Para peneliti MIT mengumpamakan, otak selayaknya otot yang akan semakin baik apabila dilatih dengan sejumlah beban yang terukur, hal serupa juga apabila otak terlalu mengandalkan AI maka dapat terancam berhenti perkembangannya. Selain MIT, Microsoft dan Carnegie Mellon dengan tajuk ”The Impact of Generative AI on Critical Thinking” juga melaksanakan penelitian serupa yang melaporkan bahwa ada penurunan daya kritis fungsi otak akibat penggunaan AI saat menulis atau kegiatan kognitif lainnya.

Akibat kemampuan otak yang melemah, orang yang menulis dengan mengandalkan ChatGPT juga harus bersiap kehilangan daya kreativitas mereka. Dalam penelitian MIT ditemukan bahwa penulis esai yang menggunakan ChatGPT atau AI kerap mengulangi kata yang sama dalam setiap paragraf. MIT menyimpulkan bahwa bantuan AI dalam penulisan berakibat dalam hilangnya kemampuan parafrase dan pemilihan diksi untuk sebuah tulisan.

Peneliti MIT, Nataliya Kosmyna, mengungkapkan bahwa kehati-hatian dalam menggunakan AI dalam produk pembelajaran merupakan pesan kepada orang tua dan guru kepada anak dan peserta didiknya. Kosmyna menuturkan, bahwa dengan keberadaan AI, masyarakat banyak yang menjadi ahli dalam berbagai bidang dan mampu menjawab berbagai pertanyaan yang bahkan bukan keahliannya.

Namun produk AI atau ChatGPT membuat orang kehilangan kemandiriannya. Dari data para ahli saraf atau neurofisiologis menunjukkan bahwa terjadi perubahan bentuk konektivitas otak saat orang bekerja menggunakan AI dan saat mandiri tanpa menggunakannya.

“Pengguna mungkin menjadi ahli dalam menggunakan alat tersebut tetapi tidak dalam melakukan tugas secara mandiri dengan standar yang sama,” kata Kosmyna.

Meski AI kini dipenuhi dengan kritik karena keberadaannya yang melemahkan fungsi otak, namun industri teknologi saat ini saling berlomba dalam mengembangkannya. Saat ini perusahaan teknologi saling berlomba untuk berinvestasi di bidang AI. Hal itu berkaca dari perusahaan raksasa, Apple yang terlambat dalam mengadopsi AI sehingga harus menelan potensi kerugian senilai 600 miliar dolar AS pada 2022. Apabila divaluasikan pada saat ini, kerugian Apple mencapai 2,92 triliun dolar AS.

Di sisi lain, Microsoft berada di peringkat satu dengan investasi 13 miliar dolar AS di 2022, telah mengalami lonjakan hingga Januari memiliki nilai valuasi keuntungan mencapai 3,55 triliun dolar AS. Sedangkan Nvidia, sebuah perusahaan chip gawai dan perangkat komputer juga ikut berinvestasi di bidang AI. Nvidia berada di peringkat dua dengan valuasi keuntungan 3,52 triliun dolar AS.

Tidak hanya MIT yang menemukan bahaya AI bagi fungsi otak, namun juga penelitian dalam negeri menemukan hal serupa. Salah satunya dari UIN Alauddin Makassar yang menuliskan bahwa AI menurunkan data kritis dan kreatif manusia. Hal itu membuat orang enggan berusaha dalam membuat produk pemikiran dan berpangku hal instan dengan AI.

Bahkan, Guru Besar Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi UGM, Ridi Ferdiana, meminta pemerintah untuk memberi batasan dalam penggunaan AI bagi masyarakat. Menurutnya, AI dapat membantu produktivitas apabila memiliki batasan dan manusia tak bergantung akan wujudnya.

“Ke depan AI seperti kepemilikan senjata api yang harus berizin. Untuk AI yang sifatnya terbuka/umum silakan digunakan, tetapi AI yang spesifik yang berpotensi mengalami kelalaian mekanismenya akan ada perizinan dan ini sudah dilakukan,” kata Ridi dalam keterangan website UGM.

Sebagai bentuk solusi, Pengajar Bimbingan dan Konseling Islam UIN Sunan Kalijaga, Citra Widyastuti, menyarankan agar ada batasan usia yang bias mengakses AI dalam pembelajara. Untuk siswa sekolah dasar diharapkan tidak diajarkan menggunakan AI agar mereka bisa mempelajari ilmu terapan secara langsung, seperti berhitung dengan menggunakan rumus atau mata pelajaran lain yang solusi permasalahannya masih dicari secara manual.

“Untuk mencari bahan belajar bisa menggunakan AI, tetapi cari jawaban untuk anak sekolah tidak disarankan. Karena mengurangi keterlibatan atau peran fungsi kognitif individu jadi otak tidak terasah dan terlatih dengan baik,” kata Citra saat dihubungi Tirto, Jumat (20/6/2025).

Di tengah pelbagai penelitian yang menyebut AI ancaman bagi daya kemampuan otak, Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka, tetap rutin mempromokannya. Dalam sejumlah kesempatan dia memuji sekolah-sekolah elite yang telah menyediakan ruang belajar berfasilitas AI. Bahkan, dia menegaskan bahwa di tahun ajaran mendatang, AI akan masuk dalam kurikulum setingak SD, SMP, SMA, dan SMK.

“Nanti di tahun ajaran baru kita mulai memasukkan kurikulum AI [atau] pelajaran AI di tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK,” kata Gibran.(Sumber)