Tekno  

Berawal Dari Dating Apps, Kerugian 27 Korban Penipuan Marketplace Fiktif Capai Rp.3 Miliar

Wanita yang menjadi korban kasus penipuan “Tinder Swindler” versi Indonesia berjumlah lebih dari 20 orang.

“Per hari ini, jumlah korban yang sudah terhimpun itu ada 27 orang,” ujar salah seorang korban berinisial TY kepada Kompas.com, Rabu (19/7/2023).

TY yakin angka korban yang terkumpul saat ini ibarat gunung es. Artinya, masih banyak korban yang belum terjangkau. Apalagi, pelaku masih berkeliaran bebas dan berseliweran di berbagai aplikasi kencan.

Soal bagaimana cerita para korban bisa saling berjejaring, TY mengungkapkan, ada salah seorang korban yang menyadari bahwa bisnis yang ditawarkan pelaku adalah penipuan.

Ia kemudian mencoba menghubungi pemilik-pemilik toko di website dagang online fiktif milik pelaku. “Ternyata benar, pemilik toko itu semuanya adalah korban penipuan.

Ada yang mau top up, tetapi enggak jadi setelah dikasih tahu bahwa itu penipuan. Akhirnya kami kumpul semuanya,” ujar TY. Baca juga: Cerita Guru Korban “Tinder Swindler Indonesia”, Cari Jodoh Berujung Tertipu Rp 354 Juta TY menambahkan, dari para korban yang sudah terhimpun, total kerugian yang tercatat lebih dari Rp 3 miliar.

“Karena ada satu orang korban yang tertipunya itu hampir Rp 1 miliar. Dari saya sendiri itu lebih dari Rp 300 juta,” ujar TY. Mereka memutuskan untuk melaporkan kasus itu ke Polda Metro Jaya, Rabu (19/7/2023).

Laporan teregistrasi dengan nomor LP/B/4163/VII/2023/SPKT/POLDA METRO JAYA. Namun, bagi para korban, peristiwa ini jauh lebih penting untuk diketahui oleh masyarakat Indonesia, terutama para wanita yang hendak membangun hubungan melalui dating apps agar tidak ada korban lagi di kemudian hari.

Modus operandi Berdasarkan keterangan para korban, pertemuan dengan pelaku seluruhnya melalui dating apps. Pelaku berupaya meraih kepercayaan dari korban terlebih dahulu dengan berbagai cara.

Setelah berhasil membangun kepercayaan, pelaku menyinggung bisnis jual beli daring yang disebutnya sebagai salah satu sumber kekayaannya selama ini, yakni berjualan barang secara daring di website.

Korban pertama-tama diminta membuat akun di website itu. Artinya, korban mendaftarkan diri menjadi merchant di sana. Meski berstatus merchant, korban diminta membeli barang di dalam website itu, misalnya meja, kursi, lampu hias, dan sebagainya.

Belanja dilakukan menggunakan aplikasi penyedia transaksi menggunakan dollar.

Sekilas, mekanisme kerjanya seperti dropshipper di mana pemilik toko tidak mesti berurusan dengan barang dan pengemasan. Pemilik toko hanya membeli item di daftar yang disediakan, lalu menjualnya kembali.

Pelaku menjanjikan keuntungan 10 persen dari setiap barang laku terjual. Setelah korban top up di aplikasi dalam kurs dollar AS, muncul notifikasi pemesanan barang.

Artinya, dana yang sudah di-top up korban terpotong sesuai dengan nilai barang. Mekanisme itu terus menerus terjadi sehingga memaksa korban untuk terus melakukan top up. Seolah-olah toko korban laris manis, padahal semua aktivitas perdagangan di website itu bikinan pelaku.

Korban tidak mencicipi keuntungan apa pun. Tanpa disadari, modal yang digelontorkan sudah banyak. Pada momen inilah para korban baru menyadari bahwa mereka telah tertipu.  (Sumber)

 

Catatan redaksi: Apabila Anda merupakan korban penipuan seperti artikel di atas dan ingin berbagi kisah, silakan hubungi tim Megapolitan di sejumlah akun media sosial Kompas.com, yakni Twitter, Instagram, TikTok, atau Telegram.