News  

Media AS Hingga Qatar Soroti Konflik Pulau Rempang: Penuh Kekerasan Mengelola Masyarakat

Soal konflik warga Pulau Rempang dengan pemerintah dan aparat, media asing kini mulai menyoroti Pulau Rempang. Kantor media besar seperti majalah di New York, Amerika Serikat bernama Time turut menuliskan berita mengenai warga Pulau Rempang yang menolak investasi yang ingin masuk untuk membuat pabrik oleh produsen pasir kuarsa asal China yaitu Xinyi Group. Dalam artikel majalah Time, sebanyak 7.500 warga terancam direkolasi.

” Konfrontasi ini menyoroti meningkatnya ketegangan antara pihak berwenang dan masyarakat lokal di seluruh Indonesia terkait sejumlah proyek infrastruktur, banyak di antaranya didanai oleh perusahaan China, yang mengancam akan menggusur masyarakat adat,” tulis Time yang dikutip tim tvOnenews pada Kamis (21/9/2023)

Lalu media asal Timur Tengah, Qatar Al Jazeera juga menuliskan artikel tentang warga Pulau Rempang yang menolak investasi senilai ratusan triliun.

Al Jazeera menuliskan bahwa pabrik tersebut dibangun di pusat perekonomian yang dikenal Rempang Eco-City. Rempang Eco-City adalah proyek gabungan antara Otoritas Zona Bebas Indonesia (BP Batam) dengan perusahaan lokal seperti PT Makmur Elok Graha (MEG). MEG disebut telah bekerja sama dengan pihak Xinyi Group.

Proyek tersebut justu berakibat negatif terhadap warga yang timggal di perkampungan tua tradisional Melayu Rempang yang harus direlokasi. Atas hal tersebut, proyek itu ditolak oleh warga karena masyarakat Melayu telah berada di pulau tersebut sejak sebelum merdeka.

“Situasi di Rempang adalah bagian dari praktik umum yang memandang penduduk lokal sebagai penghambat pembangunan. Ini adalah cara yang secara struktural penuh kekerasan dalam mengelola masyarakat,” tulis dosen studi politik dan keamanan di Murdoch University di Perth, Ian Murdoch.

Tak hanya media di atas, situs publikasi analisis milik think thank ISEAS-Yusof Ishak Institute, Fulcrum juga menuliskan tentang Pulau Rempang. Dalam artikelnya itu membahas tentang adanya ketidakpastiaan hukum terhadap tanah yang berujung konflik agraria itu.

Artikel tersebut turut juga mengutip pernyataan dari Menteri ATR Hadi Tjahjanto dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.

“Pergeseran penggunaan lahan di Pulau Rempang mencerminkan ketidakpastian peraturan mengenai penggunaan lahan di Indonesia secara umum. Menteri Agraria dan Tata Ruang Hadi Tjahjanto mengatakan, tanah yang ditempati warga tidak memiliki sertifikat kepemilikan,” tulisnya.

“Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan, kejadian di Rempang yang terjadi belakangan ini disebabkan oleh keputusan pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang mengubah status fungsional tanah.

Ketidakpastian peraturan ini menimbulkan konflik antara masyarakat dan pemerintah,” lanjutnya. Ombudsman Temukan Potensi Maladministrasi Ombudsman RI menemukan kemungkinan potensi maladministrasi yang telah dilakukan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dan Pemerintah Kota Batam (Pemkot Batam) pada rencana relokasi warga di Pulau Rempang.

Hal tersebut telah disampaikan oleh Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijiantoro keterangan resminya yang di unggah di website Ombudsman RI.

Dirinya menambahkan, potensi maladministrasi tersebut dapat disimpulkan usai lembaga meminta keterangan kepada pihak yang terdampak. Pemeriksaan lapangan terhadap keberadaan Pulau Rempang merujuk Surat Keputusan Wali Kota Batam Nomor 105/HK/III/2004 Tentang Penempatan Perkampungan Tua di Kota Batam.

“Ombudsman telah melakukan permintaan keterangan secara langsung kepada pihak-pihak yang terdampak, serta pemeriksaan lapangan terhadap keberadaan Kampung Tua dengan merujuk Surat Keputusan Wali Kota Batam Nomor 105/HK/III/2004 Tentang Penetapan Perkampungan Tua di Kota Batam,” ujar Johanes dalam keterangannya yang dikutip tim tvOnenews pada Kamis (21/9/2023).

Johanes juga menjelaskan terdapat 16 kampung tua yang tersebar di Pulau Rempang, yakni Tanjung Kertang, Rempang Cate, Tebing Tinggi, Blongkeng, Monggak, Pasir Panjang, Pantai Melayu, Tanjung Kelingking, Sembulang, Dapur Enam, Tanjung Banun, Sungai Raya, Sijantung, Air Lingka, Kampung Baru dan Tanjung Pengapit.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Ombudsman, terdapat sekitar 16.500 hektar lahan yang rencananya digunakan dalam proyek Strategis Nasional 2023.

Lahan tersebut akan dialokasikan sebagai kawasan industri perdagangan, serta tempat wisata bernama Rempang Eco Park Pulau Rempang.

Di sisi lain, ia mengatakan bahwa rencana pengalokasian lahan Pulau Rempang tidak sesuai ketentuan, karena sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) belum dikeluarkan oleh Kementerian ATR/BPN.

Status sertifikat yang belum memiliki kejelasan dikatakan pula sebagai alasan kuat bagi Ombudsman untuk menentang segala bentuk penekanan yang dilakukan oleh aparat keamanan di Pulau Rempang.

Selain itu, bentrok antara masyarakat dan aparat kepolisian telah menyebabkan turunnya ribuan aparat kepolisian dan penggunaan gas air mata sebagai bentuk respon atas kerusuhan yang terjadi.

Ombudsman juga akan mengusut penguasaan fisik bidang tanah masyarakat yang berada di Pulau Rempang selama puluhan tahun.

Hal tersebut untuk mengetahui apakah ada unsur kelalaian negara yang tidak memberikan akses masyarakat, untuk memperoleh hak kepemilikan atas tanah yang ditempati secara turun temurun atau tidak.

Kawasan Rempang akan disulap menjadi Rempang Eco-City. Namun perkembangan terkini terhambat oleh konflik agraria yang muncul akibat penolakan masyarakat untuk pindah.(Sumber)