Mengenang Perjalanan Sang Legenda F1 Niki Lauda

Juara dunia tiga kali balap mobil F1 Niki Lauda meninggal dunia dalam usia 70 tahun. Kondisi kesehatan Lauda memang mengalami penurunan sejak pertengahan tahun lalu.

Pada Agustus 2018, pembalap asal Austria itu harus menjalani operasi transplantasi paru-paru dan harus dirawat di rumah sakit selama dua bulan. Pada Januari tahun ini, Lauda dikabarkan sempat kembali masuk ke rumah sakit untuk perawatan singkat setelah terjangkit infeksi flu.

Selang beberapa bulan, keluarganya memberi kabar bahwa Lauda meninggal dunia pada Senin (20/5). Keluarganya merasakan kesedihan mendalam atas kepergian Lauda. Pasalnya, selain jagoan di arena balap, Lauda merupakan sosok panutan di keluarga.

“Pencapaian uniknya sebagai atlet dan usahawan tidak akan pernah terlupakan. Begitu juga dengan semangatnya yang tidak kenal lelah untuk bertindak, serta keberaniannya. Dia akan menjadi panutan bagi kita semua, dia adalah seorang suami, ayah, dan kakek yang penyayang. Dia akan sangat dirindukan,” demikian keterangan resmi keluarga Lauda dikutip dari Motorsport.com, Selasa (21/5).

Dilansir dari Reuters, Niki Lauda lahir di Vienna pada 22 Februari 1949. Lauda memulai debutnya pada ajang jet darat, F2 bersama March Engineering pada 1971 hingga 1972. Menjadi seorang pembalap adalah hal yang tidak diharapkan oleh keluarga, namun dengan kemauan yang keras ia tetap menjalaninya.

Pada 1973, Lauda bergabung dengan British Racing Motors. Inilah momen Lauda bisa menarik perhatian Ferrari. Lauda kemudian bergabung dengan Ferrari pada 1974 dan berhasil meraih gelar perdananya pada 1975. Semusim kemudian, Lauda berhasil selamat dari kecelakaan mematikan pada Grand Prix (GP) Jerman 1976.

Mobil yang dikendarai Lauda terbakar usai menabrak pagar pembatas di Nuerburgring. Meski mengalami koma dan menderita luka bakar parah, Lauda hanya absen dua balapan, tepatnya enam pekan setelah itu ia kembali ke arena balap. Ia berhasil menunjukkan penampilan heroik di GP Italia, kandang Ferrari. Dalam perebutan gelar 1976, Lauda finis keempat dan hanya kalah satu poin melawan rival terberatnya, James Hunt, dari McLaren.

“Itu adalah akhir pekan yang mengerikan,” kata Lauda kepada Reuters pada 2013 dalam pengakuan betapa takutnya ia untuk kembali balapan begitu cepat setelah lolos dari kematian.

Lauda merebut gelar keduanya bersama Ferrari pada 1977. Musim selanjutnya ia bergabung dengan Brabham, milik mantan pembalap F1, Bernie Ecclestone. Namun, kebersamaannya dengan Brabham hanya bertahan pada 1978 hingga 1979, ia pun memutuskan untuk pensiun lantaran melewati dua musim yang buruk.

Lauda kemudian memfokuskan diri pada bisnis penerbangan dengan mendirikan maskapai pribadinya di Austria. Namun, bisnis penerbangan tak bisa meredam gairah balapnya yang masih membara. Lauda memutuskan kembali ke arena pada 1982 bersama McLaren. Dua musim berikutnya Lauda berhasil meraih gelar juara ketiganya setelah mengalahkan rekan setim, Alain Prost, dengan keunggulan hanya setengah poin.

Musim 1985 adalah musim terakhir bagi Lauda sebagai pembalap F1. Ia pensiun dengan 25 kemenangan GP. Setelah itu ia memutuskan untuk menjadi konsultan di Ferrari pada 1993. Kemudian menjabat sebagai team principal di Jaguar pada 2001 hingga 2002.

Sepuluh tahun kemudian, pada 2013 Lauda diangkat menjadi ketua non-eksekutif tim F1 Mercedes dan dia turut terlibat dalam negosiasi untuk merekrut Lewis Hamilton, yang di kemudian hari memenangkan empat kejuaraan bersama tim. Kini, Niki Lauda telah pergi untuk selamanya.

Kisah Lauda diangkat dalam sebuah film pada 2013 berjudul Rush. Film tersebut menceritakan persaingan antara Lauda dan rivalnya James Hunt dalam industri balap F1 tahun 1976. [republika]