Airlangga Yang Gagal di Mata Golkar

Airlangga Yang Gagal di Mata Golkar Radar Aktual

Dinamika internal politik Partai Golkar Pasca Pemilu 2019 memasuki babak baru. Setelah gagal mendulang suara signifikan, partai beringin tersebut menghadapi desakan internal untuk mengevaluasi kepemimpinan Airlangga Hartarto. Kondisi ini patut dimaklumi, mengingat target suara dan perolehan kursi parlemen yang jauh dari harapan. Dengan perolehan 14,75% pada Pemilu 2014, turun menjadi 12,34%.

Di saat partai-partai koalisi Indonesia Maju yang mengusung Joko Widodo sebagai Calon Presiden 2019 mengalami kenaikan suara di parlemen, Partai Golkar justru mengalami penurunan. PDI-P yang pada Pemilu 2014 lalu meraih 18,95% suara, naik menjadi 19,38%. PKB yang mendulang 9,04% pada Pemilu sebelumnya, meningkat menjadi 9,72%. Partai Nasdem yang tergolong baru di kancah politik nasional, mengalami peningkatan signifikan dari 6,72%, menjadi 9,07%. Dengan penambahan kursi menjadi 575, dipastikan jumlah kursi partai-partai tersebut meningkat signifikan.

Evaluasi Kepemimpinan
​Bukan cerita baru saat kontestasi politik telah usai, partai-partai politik kembali melakukan evaluasi atas berbagai strategi dan kebijakan yang selama ini dijalankan dalam rangka menghasilkan dampak elektoral yang memuaskan. Sebagai partai tertua di negeri ini, sejatinya Partai Golkar turut mengintropeksi diri atas pencapaiannya selama ini. Penurunan suara dari serangkaian Pemilu pasca reformasi seharusnya menjadi catatan penting untuk melangkah ke depan.

​Ironisnya, suara-suara kritis yang hendak mengevaluasi Suara Golkar Suara Rakyat itu, masih saja dipandang sebelah mata. Tidak hanya itu, dinamika tersebut acapkali dinilai sebagai sebentuk pemberontakan dan pembangkangan, ataupun upaya degradasi kepemimpinan yang sedang menjabat saat ini. Sebaliknya, dinamika ini justru hendak membaca masa depan dengan menjadikan masa lalu sebagai sumber referensi. Bukan hanya soal kesuksesan, tapi juga tentang kegagalan yang sudah seharusnya dipertanggungjawabkan.

​Karena itu, desakan pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar bukan semata soal siapa yang akan menjabat “Ketua Umum”, tapi lebih pada sejauhmana respons Partai Golkar terhadap situasi dan kondisi saat ini. Pengalaman kepemimpinan sebelumnya menunjukkan bahwa tradisi untuk mengevaluasi kinerja partai pasca Pemilu selalu terabaikan. Para elit politik cenderung “buta” dan “tuli” saat diminta pertanggungjawaban.

Situasi itu sangat berbeda di awal masa kepengurusan, saat kekuasaan menghampiri mereka, lalu diterima dengan setumpuk janji-janji politik yang membumbui serangkaian momentum seremonial di sepanjang masa kepengurusan.

​Sikap resisten terhadap segala bentuk kritisisme sesungguhnya membuktikan bawah Partai Golkar belum bisa mengambil jarak dengan karakter masa lalunya. Budaya demokrasi yang ditunjukkan dengan kinerja dan tata kelola kepartaian yang transparan dan terbuka masih jauh panggang dari api.

Pada gilirannya, oligarki kekuasaan masih menggurita, sentralisasi kekuasaan masih sangat kasat mata, berbagai kebijakan strategis masih diputuskan secara pihak, yang kesemuanya menyimpulkan bahwa kepemimpinan Airlangga Hartarto saat ini tidak berbeda dengan pendahulunya.

​Sejarah telah membuktikan bahwa konstalasi Partai Golkar masa lalu yang dipenuhi dengan friksi yang akut tidak terlepas dari gaya kepemimpinan. Mereka yang memegang tampuk kekuasaan menghiasi pernyataan politiknya dengan seruan dan adagium reformis. Salah satunya adalah menjadikan “Golkar Bersih” sebagai “tagline” untuk merebut simpati publik.

​Pada kenyataannya, hingga saat ini seruan tersebut hanyalah sebatas retorika. Mereka yang diduga dan terbukti melakukan pelanggaran hukum, dijatuhi sanksi, ditahan dan berkekuatan hukum tetap, tidak juga mendapatkan punishment. Sejumlah nama yang telah santer terbaca dan terlihat di publik, masih tercatat sebagai pengurus. Sebagian dari mereka bahkan masih mengisi jabatan-jabatan strategis.

​Sementara itu, kepemimpinan saat ini disibukkan dengan agenda-agenda eksternal yang tidak memiliki efek dulang suara. Nama besar Airlangga Hartarto justru lebih “mentereng” dengan jabatan “eksekutif”-nya ketimbang sebagai Ketua Umum sebuah partai politik.

Kesibukannya sebagai Menteri Perindustrian telah membuat kinerja-kinerja kepartaian yang seharusnya “digeluti”, diganti dengan “sambilan”, bahkan cenderung sebagai business as usual semata. Tidak heran jika sejak awal masa kepemimpinannya, beberapa pucuk pimpinan DPD Tingkat I masih berstatus sebagai Pelaksana Tugas (Plt) yang tak kunjung menerima amanah penuh. Dengan demikian, kemandirian mereka pun tidak pernah terealisasi dengan maksimal, sehingga setiap saat para elit Partai Golkar bisa dengan mudah melakukan ”reshuffle” saat kebijakan DPD-DPD tersebut bertentangan dengan kepentingan mereka.

Menebar Ancaman
​Tatanan kehidupan demokratis telah mewariskan pelajaran tentang pentingnya menata sistem kelembagaan politik dengan baik. Pemimpin bisa datang dan pergi, namun institusi politik yang mengandung marwah dan keluhuran citra seharusnya abadi.

Partai Golkar seharusnya mampu menegaskan bahwa eksistensinya selama ini bertahan karena publik masih menitip kepercayaan untuk menyuarakan aspirasi mereka agar dapat terakselerasi dan terwujud sesuai dengan harapan mereka. Namun, penurunan suara yang signifikan juga mengisyaratkan bahwa tanpa perubahan radikal dan perwujudan maksimal atas janji-janji politik, akan membuat suara publik semakin meredup.

​Isyarat inilah yang seharusnya dimplementasikan dengan baik oleh seluruh komponen Partai Golkar saat ini. Menganalisa keinginan publik tidak cukup dengan membaca “kehendak” pimpinan, tapi sejauhmana dampak elektoral yang dihasilkan. Hukuman publik cukup jelas terlihat saat mereka tidak lagi menjatuh pilihan pada Partai Golkar.

​Kiranya dinamika itulah yang sedang terjadi di internal Partai Golkar saat ini, saat sejumlah pimpinan DPD dari berbagai wilayah di Indonesia menyuarakan dukungan pada Bambang Soesatyo selaku Calon Ketua Umum dalam Munas Partai Golkar mendatang. Dukungan tersebut tentu saja tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan dilatarbelakangi oleh harapan tentang masa depan partai yang lebih baik dan gumpalan kekecewaan terhadap pola kepemimpinan Partai Golkar saat ini.

​Sejumlah dukungan tersebut tidak pantas direspons dengan cibiran, kecurigaan, hingga ancaman. Mereka yang menggelorakan perubahan adalah bagian dari Kader Partai Golkar yang memiliki saham dan andil atas kebesaran dan bertahannya Partai Golkar hingga saat ini. Mereka juga adalah bagian dari sejarah perjuangan yang bekerja keras demi mempertahankan eksistensi partai di aras paling bawah.

​Sebagai partai yang terbuka, para pimpinan DPD tersebut memiliki hak bersuara ataupun berpendapat. Bahkan sebagaian besar di antara mereka adalah pemilik jabatan penuh (bukan Plt) di tingkat daerah dengan kinerja-kinerja politik yang dapat dipertanggungjawabkan. Memandang dukungan tersebut sebagai tindakan yang tidak santun dan elegan, justru membuka “borok” kepemimpinan Partai Golkar itu sendiri yang sudah terlanjur “gagal” di mata publik.

Yorrys Raweyai, Kader Senior Partai Golkar