HASIL bagus yang diraih tim nasional Indonesia di Piala Asia 2023 (lolos 16 besar) dan kualifikasi Piala Dunia 2026 (sementara berada di peringkat 2 dengan 7 poin) tentu sangat menggembirakan. Namun di luar dugaan, di balik euforia masyarakat sepak bola kita yang sedang membumbung tinggi, ternyata terselip secuil kekhawatiran. Iya, kekhawatiran dari beberapa kalangan, tersurat maupun tersirat, tentang masa depan sepak bola Indonesia.

Lho kok bisa? Saat timnas kita tengah menapak naik dengan menduduki peringkat ke-134 FIFA (naik 39 peringkat sejak ditangani Shin Tae-yong), kok malah khawatir dengan masa depan sepak bola Indonesia? Iya, apa lagi kalau bukan karena semakin maraknya pemain naturalisasi yang menghiasi wajah tim nasional kita.

Apakah kekhawatiran akan masa depan sepak bola kita dengan semakin maraknya pemain naturalisasi tersebut berlebihan? Bisa jadi iya. Namun, apakah kekhawatiran akan masa depan sepak bola kita dengan akan semakin sulitnya potensi-potensi pemain lokal untuk menembus tim nasional itu memiliki dasar? Oh iya, sangat.

Bagi masyarakat awam, kekhawatiran tersebut akan dirasa berlebihan, karena biasanya orientasi “berpikir” mereka adalah hasil, dan itu wajar. Sedang bagi pelaku sepak bola nasional, kekhawatiran ini jelas sangat mendasar, karena orientasi “bekerja” mereka adalah proses yang berkesinambungan, dan memang begitu lah filosofinya.

Menjadi menarik, karena sebagai negara yang sangat merindukan prestasi tim nasional sepak bolanya, percikan-percikan seperti ini tidak seharusnya terjadi. Kegelisahan ini terjadi, karena ada sesuatu yang menurut Saya masih belum sepenuhnya berjalan dengan sebagaimana mestinya. Apa itu? Mari coba pelan-pelan kita diskusikan di sini.

Terkait dengan naturalisasi ini Saya tidak akan menyentuh perihal nasionalisme, patriotisme, kebanggaan, atau popularitas. Karena nanti pembahasannya akan menjadi semakin lebar sehingga dikhawatirkan malah menjadi bias, dan cenderung tendensius.

Jadi, kita akan membahas hal-hal yang esensial saja. Ok, mari kita mulai.

 

Bukan Hal Baru dan Masih Dalam Kategori Wajar

Walau pun baru menyita perhatian publik di tahun 2010an, ketika Christian Gonzalez dinaturalisasi dan bermain di Piala AFF 2010. Toh sejatinya naturalisasi pemain di Indonesia sendiri, sudah terjadi sejak jauh-jauh hari. Di masa-masa awal Republik ini berdiri, sejarah mencatat, pemain sepak bola keturunan pertama yang mendapatkan kewarganegaraan Indonesia adalah Arnold Wouter van der Vin, seorang penjaga gawang keturunan Belanda yang lahir di kota Semarang. Dalam laman wikipedia (Indonesia), Van der Vin tercatat memainkan 15 pertandingan bersama timnas Indonesia.

Secara pribadi Saya masih pada pendapat Saya sebelumnya, jika Saya tidak pernah anti dengan dengan program naturalisasi pemain ini. Karena secara aturan hal tersebut memang diperbolehkan, dan hampir seluruh negara di dunia juga mengadopsi hal yang sama. Jadi, ketika Indonesia melakukan program naturalisasi besar-besaran, Saya tidak dalam posisi untuk berseberangan.

Terlebih lagi menurut Saya pribadi, Shin Tae-yong juga masih dalam kategori wajar dalam menggunakan para pemain naturalisasi ini. Karena dari data yang saya miliki, koreksi saya jika saya salah, komposisi line up utama timnas kita dalam setiap pertandingan, masih didominasi oleh para punggawa lokal.

Tercatat penggunaan pemain naturalisasi terbanyak dalam line up utama adalah saat babak 16 besar Piala asia, ketika Indonesia takluk 0:4 dari Australia. Ketika itu Shin Tae-yong menurunkan 6 pemain naturalisasi dalam barisan pertama. mereka adalah Sandi Wals, Jordi Amat, Elkan Baggot, Ivar Jenner, Justin Hubner, dan Rafael Struick.

Itu pun Elkan Baggot tidak dapat dikatakan sebagai pemain naturalisasi. Dia memang memiliki darah keturunan, tapi bukan naturalisasi. Artinya Elkan memang bisa memilih kewarganegaraan, bukan diberikan kewarganegaraan. Memilih dan diberi tentu sangat berbeda.

Selebihnya, ketika bertanding melawan Jepang dan 3 kali perjumpaan dengan Vietnam, Shin Tae-yong menggunakan masing-masing 5 pemain naturalisasi. Bahkan di pertandingan pertama Piala Asia saat melawan Irak, hanya 4 pemain naturalisasi yang tampil sejak awal. Artinya, para punggawa lokal masih tetap memegang peranan yang penting di timnas. Dan semoga komposisinya akan terus demikian.

Di sini Saya jadi berpikir, “jangan-jangan” Shin Tae-yong juga memahami dan memiliki pemikiran yang sama dengan para pelaku sepak bola nasional kita. Bahwa di satu sisi, keberadaan pemain naturalisasi memang penting. Tapi di sisi yang lain, kesinambungan bakat-bakat asli Indonesia untuk terus berkembang juga lebih dari penting. Itu lah mengapa dia tetap memberikan kesempatan kepada pemain-pemain muda kita untuk tampil reguler di tim nasional.

Dan dengan segala tekanan dan target yang begitu tinggi, somehow Shin Tae-yong mampu memberikan hasil yang sangat baik. Lolos ke babak 16 Piala Asia untuk pertama kali dalam sejarah, dan berpeluang untuk lolos ke babak ketiga kualifikasi Piala Dunia, sekaligus lolos otomatis ke Piala Asia Arab Saudi 2027, tentu hal yang layak diapresiasi.

Lebih dari itu rasanya kita semua juga sepakat, jika dari sisi penampilan, timnas mengalami peningkatan yang signifikan. Permainan timnas saat ini jauh lebih positif, agresif dan juga atraktif. Bahkan ketika bertemu dengan tim-tim besar seperti Irak, Australia, dan juga Jepang. Artinya secara permainan mental, dan kepercayaan diri mereka sudah semakin baik.

 

Federasi Harus Hati-Hati

Sejujurnya, Saya bahkan gembira dengan terobosan yang dilakukan oleh PSSI yang dalam hal ini mahu dan berani melakukan investasi besar-besaran, dalam memajukan sepak bola Indonesia. Salah satunya dengan melakukan program naturalisasi. Namun PSSI juga harus sepenuhnya sadar, jika program naturalisasi pemain ini hanya memiliki efek jangka pendek. Sedang investasi terbesar bagi sepak bola Indonesia, tetap lah talenta-talenta muda kita yang saat ini berjibaku di kompetisi-kompetisi kelompok usia dini.

Apakah federasi sudah melakukan investasi pada sektor pembinaan usia dini? Jawabannya tentu sudah. Namun apakah investasi tersebut sudah cukup memadai? maka jawabannya adalah masih jauh dari kata memadai. Karena kompetisi dan pembinaan usia dini yang ada saat ini, belum lah dilakukan secara komprehensif. Kebanyakan kompetisi usia dini kita, hanya bersifat festival, sehingga jangka waktunya tidak lama. Bahkan kebanyakan dari kompetisi tersebut, masih diinisiasi oleh pihak swasta.

Di sini lah PSSI harus lebih berhati-hati, jangan hanya terbuai dengan glamornya program naturalisasi pemain, sehingga mengabaikan investasi terbesar kita pada kompetisi dan pembinaan usia dini. Karena pada akhirnya, kita tidak akan pernah bisa lari dari prinsip dasar, bahwa tim nasional yang kuat hanya dapat terbentuk dari kompetisi dan pembinaan usia dini yang berkualitas.

Stempel timnas Hindia Belanda memang agak berlebihan, namun sebagai orang yang pernah berkecimpung di dunia sepak bola nasional, Saya bisa menangkap frekuensi kegelisahan tersebut. Dan Saya meyakini, jika kegelisahan ini didasari oleh kecintaan mereka terhadap sepak bola Indonesia.

Mengapa kita tidak coba berpikir secara positif saja. Dengan menjadikan prestasi tim nasional ini sebagai tonggak awal agar sepak bola Indonesia dapat melompat lebih tinggi. Naiknya level timnas ini juga harus diikuti dengan kenaikan level di sektor-sektor yang lain. Seperti naiknya level kompetisi profesional kita, naiknya level kompetisi-kompetisi usia dini kita, naiknya level kualitas wasit-wasit kita, dan juga naiknya level kualitas sarana serta prasarana penunjang kompetisi kita.

Saya berangan-angan, jika suatu saat nanti akan tiba masanya, di mana federasi akan sangat selektif dalam melakukan naturalisasi pemain. Bukan karena program naturalisasi tidak dilakukan lagi. Namun karena level para pemain lokal kita yang sudah sedemikian berkualitasnya. Sehingga hanya pemain benar-benar berkualitas A saja yang layak dinaturalisasi. Hal tersebut tentu sekadar mimpi di siang bolong, jika federasi hanya fokus kepada tim nasional dan tidak hadir pada pembinaan usia dini.

 

Studio Lukis dan Pameran Lukisan

Pembinaan usia dini dan tim nasional itu bak sebuah studio lukis dan pameran lukisan. Pembinaan usia dini adalah tempat di mana seorang seniman menemukan gagasan, menyusun sketsa, memilih bahan, menentukan tehnik melukis, hingga akhirnya menghasilkan sebuah karya yang indah. Sedang tim nasional adalah sebuah pameran lukisan yang glamor, elegan, tertata rapi, dan penuh dengan karya bernilai seni tinggi.

Tidak banyak memang yang mahu mendatangi studio-studio lukis yang mungkin tempatnya sempit, pengap, berdebu, dan sudah pasti berantakan. Tapi bisa dilihat, berapa banyak orang yang menghadiri sebuah pameran lukisan para maestro tersebut. Mereka bahkan rela untuk membayar mahal dan mengantri untuk dapat menikmati maha karya yang dibuat di studio-studio sempit, pengap, berdebu dan berantakan tadi.

Akhir sekali.

Jika tujuannya hanyalah membangun tim nasional, maka naturalisasi pemain adalah satu langkah instan yang dapat digunakan, dan tidak dapat dimungkiri memang terbukti berhasil. Namun, jika ide besarnya adalah membangun sepak bola Indonesia secara utuh, dan itu tentu yang kita semua harapkan, maka omong kosong jika perbaikan itu tidak menyentuh wilayah kompetisi dan pembinaan usia dini.

Karena sekali lagi, di sana lah investasi terbesar sepak bola Indonesia berada.

Tetap semangat dan sukses selalu….

(Sumber)