News  

Menaruh Curiga Pada Tapera, Instrumen Korupsi dan Manipulasi

Memori kasus Jiwasraya dan Asabri menjadi pengingat rawannya dana Tapera di Korupsi lewat investasi dan manipulasi

Masih melekat dalam ingatan bagaimana majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan pidana penjara seumur hidup kepada para terdakwa kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Bukan tanpa alasan majelis menghukum mereka seumur hidup. Selain kerugian keuangan negara yang cukup besar, korupsi ini juga dilakukan secara terencana, struktur, masif dan dalam jangka waktu cukup lama yaitu 10 tahun.

Pelakunya adalah Benny Tjokrosaputro atau Bentjok, Dirut PT Hanson Internasional Tbk yang bekerja sama dengan tiga mantan pejabat Jiwasraya. Ketiganya adalah mantan kepala divisi investasi dan Keuangan Asuransi Jiwasraya Syahmirwan, Mantan Direktur Utama Hendrisman Rahim dan Mantan Direktur Keuangan Hary Prasetyo.

Selain melakukan korupsi dana Jiwasraya, Bentjok ternyata juga melakukan korupsi pada dana Asabri.

Memori itu yang kemudian menghantui publik dengan rencana pemerintah memberlakukan kebijakan menarik iuran wajib kepada semua pekerja lewat program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Masyarakat patut khawatir akan terjadi penggelapan dana, seperti yang terjadi pada kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri. Pada kasus Jiwasraya, dana yang dikorupsi mencapai Rp16,8 triliun, sementara pada kasus Asabri kerugian negara hingga Rp22 triliun.

Sementara jika rencana iuran Tapera ini dilaksanakan, akan terkumpul dana yang sangat besar. Bahana Sekuritas memperkirakan program ini dapat mengumpulkan uang mencapai Rp 160-268 triliun hingga tahun 2027.

Angka tersebut dihitung dari potongan wajib 3% yang dikumpulkan Tapera dari 43 juta pekerja formal yang ada di Indonesia.

peraturan Tapera
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada 20 Mei 2024. (Foto: Tangkapan Layar/Dok Tapera)

Belum lagi diberlakukan pada 2027 nanti, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2021 sudah menemukan ada permasalah di Tapera.

Berdasarkan laporan bernomor  202/LHP/XVI/l2/2021 tertanggal 31 Desember 2021, mengungkap 124.960 peserta Tapera yang telah pensiun, belum menerima pengembalian dana Tapera sebesar Rp567,5 miliar.

BPK juga menemukan sebanyak 40.266 peserta pensiun ganda yang belum menerima dana Tapera Rp130,3 miliar.

Instrumen Korupsi dalam Dana Investasi

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, ketika berbincang dengan Inilah.com mengutarakan kekhawatiran akan hal ini.

Menurut Zaenur, dalam praktiknya uang tabungan yang dikumpulkan tidak diparkir begitu saja dalam rekening khusus, melainkan besar kemungkinan Badan Pengelola (BP) Tapera akan menginvestasikan pada instrumen investasi yang diklaim aman.

“Potensi korupsi itu adalah ketika dana itu ditempatkan pada instrumen investasi,” kata Zaenur.

Dana Tapera yang terkumpul memang nantinya akan digunakan untuk subsidi silang bagi peserta yang belum memiliki rumah untuk mendapatkannya dengan berbagai skema yang mudah. Tak hanya itu, dana Tapera juga diinvestasikan pada deposito perbankan, surat utang/sukuk negara, surat berharga di bidang perumahan dan kawasan permukiman, serta bentuk investasi lain yang aman dan menguntungkan sesuai dengan amanat UU Tapera.

Dana Tapera juga dikelola dengan prinsip konvensional dan syariah sesuai dengan pilihan masing-masing peserta.

nasabah tapera
Petugas melayani peserta tabungan perumahan rakyat (Tapera) di Kantor Pelayanan Badan Pengelola Tapera, Jakarta. (Foto: Antara).

Pintu investasi ini yang kemudian menjadi pembuka jalan bagi para oknum meraup cuan. Praktek dimulai saat lembaga investasi yang mengklaim keamanan tinggi berbondong-bondong menjajakan diri agar dana Tapera dapat disimpan di tempat mereka.

“Karena terjadi persaingan, maka biasanya pihak-pihak yang menginginkan itu kemudian memberikan kickback (suap),” kata Zaenur.

Zaenur mencontohkan seperti halnya pada kasus Asabri. Pada kasus itu, pengelolaan keuangan dan dana investasi dilakukan perseroan selama 2012-2019 tidak sesuai dengan aturan.

Kecurangan itu berupa kesepakatan pengaturan, penempatan dana investasi pada beberapa pemilik perusahaan atau pemilik saham dalam bentuk saham dan reksadana.

Padahal kemudian dana itu ditempatkan pada saham gorengan. Saham itu sebenarnya tidak punya nilai, tetapi hanya karena digoreng, dipoles, seakan-akan itu merupakan satu instrumen investasi yang menjanjikan.

Pemerintah memang sudah memiliki solusi untuk menghindari hal itu, yakni dengan menempatkan pada obligasi surat utang negara (SUN), tetapi yang juga harus diingat, undang-undang memperbolehkan instrumen investasi lain, selain SUN.

“Itulah yang paling berisiko,” kata Zaenur.

Manipulasi Berujung Korupsi

Instrumen lain yang juga menjadi celah terjadinya praktek rasuah, yakni saat para peserta ingin melakukan klaim namun tidak kunjung dibayarkan, seperti pada temuan BPK pada 2021.

demo tapera
Buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengikuti aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (6/6/2024). Aksi tersebut salah satunya menolak pogram Tapera. (ANTARA/Reno Esnir/nym)

Sebab tak ada jaminan bagi peserta bisa membeli rumah dari uang iuran yang dibayarkan lewat pemotongan gaji setiap bulan. Apalagi dengan tingkat inflasi dan harga-harga yang akan terus meninggi.

“Jangan-jangan nanti ahli waris dipersulit saat mengurus, Kan umur kita belum tentu sampai itu (saat klaim),” ujar Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto.

Jika praktek semacam itu yang diterapkan, maka menjadi sangat rawan terjadinya fraud alias kecurangan dalam laporan keuangan. Bukan tidak mungkin terjadi manipulasi mengatasnamakan peserta sah untuk menarik dana Tapera.

“Ketika itu dikorupsi, masyarakat lagi yang akhirnya menanggung. Sudah mereka mau menyimpan, berharap dapat keuntungan dari hasil usaha atau simpanan di asuransinya bisa buat hari tua, pada akhirnya hilang lalu pemerintah tidak mampu menangani atau menalangi,” kata Agus.

Hal senada juga diutarakan Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Orin Gusta Andini. Menurutnya kebijakan Tapera kurang tepat untuk dilakukan sebelum ada pengawasan.

Orin mengatakan, menjadi wajar bila kebijakan itu menjadi sebuah tanda tanya besar, karena memang tidak bisa dipertanggungjawabkan pada publik, misal soal tranparansi penggunaan anggaran Tapera nantinya.

“Pertanyaannya siapa yang benar-benar akan menerima manfaatnya, dan mekanismenya apabila terjadi korupsi, atau tujuannya tidak tercapai?” kata Orin kepada Inilah.com.

Jadi alih-alih memberi manfaat bagi masyarakat nanti, Tapera justru menjadi rawan untuk dikorupsi.

(Sumber)