Teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) tidak hanya memberikan manfaat yang begitu besar, namun secara bersamaan juga memberikan ancaman bagi umat manusia.
Kepopuleran AI semakin berkembang pesat dibuktikan dengan semakin banyaknya pengguna ChatGPT, chatbot milik OpenAI.
Berikutnya banyak perusahaan besar yang berusaha mengikuti jejak tersebut, termasuk Google dan Microsoft yang paling kencang mengembangkan AI.
Namun Geoffrey Hinton yang dikenal sebagai Bapak AI punya pesan khusus. Dia menjelaskan bahaya pengembangan AI untuk masa depan manusia.
Berikut ini contoh ancaman kehadiran AI:
1. Sulit Membedakan Kebenaran dan Kebohongan
Kehadiran AI telah memperumit kemampuan masyarakat dalam membedakan antara kebenaran dan kebohongan. Teknologi AI, terutama dalam bentuk yang dapat menghasilkan konten palsu seperti deepfake, telah membuat lebih sulit bagi orang untuk mengidentifikasi informasi yang benar dari yang palsu.
Sebagai catatan, deepfake sendiri merupakan teknik untuk membuat konten visual menggunakan AI.
Konten deepfake berupa foto dan video kerap menyerupai konten asli. Misalnya saja, ada konten deepfake yang memperlihatkan tokoh-tokoh miliarder seperti Bill Gates dan Donald Trump dengan latar kumuh.
Bahkan, Presiden RI Joko Widodo pernah jadi korban deepfake yang sempat menghebohkan. Konten itu memperlihatkan Jokowi berpidato dalam Bahasa Mandarin.
Ini menjadi masalah serius karena dengan mudahnya penyebaran informasi palsu di platform online, masyarakat sering kali harus berjuang untuk memverifikasi keabsahan informasi yang mereka terima. Hal ini dapat mengarah pada penyebaran berita palsu, penipuan, atau bahkan pengaruh politik dan sosial yang merugikan.
Untuk mengatasi tantangan ini, pendidikan tentang literasi digital dan kritisitas informasi menjadi semakin penting. Orang perlu dilengkapi dengan keterampilan untuk mengenali tanda-tanda konten palsu atau manipulatif yang dihasilkan oleh AI, serta mengembangkan kebiasaan untuk memeriksa sumber dan memverifikasi informasi sebelum dipercayai atau dibagikan lebih luas.
2. AI Lebih Pintar daripada Manusia
Kemajuan AI terpantau memiliki banyak keunggulan. AI punya memori yang lebih baik, dapat dengan cepat mengumpulkan informasi dari berbagai sumber digital, dapat bekerja secara terus-menerus tanpa perlu tidur, tidak membuat kesalahan matematika, dan lebih baik dalam melakukan beberapa tugas sekaligus serta berpikir beberapa langkah ke depan dibandingkan manusia.
Hal ini membuat AI lebih unggul dalam mencapai beberapa tujuan, seperti menghitung masalah matematika kompleks atau mengurutkan data dalam jumlah besar. Namun, kebanyakan sistem AI berspesialisasi untuk aplikasi yang sangat spesifik.
Di sisi lain, manusia dapat menggunakan imajinasi dan intuisi saat menghadapi tugas baru dalam situasi yang baru. Hal ini membuat manusia lebih mudah menerapkan kecerdasan mereka dalam berbagai lingkungan, misalnya saat berjalan di jalur yang tidak familiar. Hal ini seringkali menjadi tantangan bagi mesin.
Dikutip dari California Institute of Technology/Caltech, seiring sistem AI menjadi lebih canggih, AI mungkin menjadi lebih baik dalam mentransfer kemampuan ke situasi yang berbeda, seperti halnya yang dilakukan manusia.
Hal ini akan berarti penciptaan “kecerdasan buatan umum” atau “kecerdasan buatan yang sejati,” yang menjadi tujuan utama bagi beberapa peneliti.
Secara teoritis, hal ini dapat menghasilkan kecerdasan buatan yang melampaui kecerdasan manusia. Istilah “singularitas” kadang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana sistem AI mengembangkan agensi dan tumbuh melebihi kemampuan manusia untuk mengontrolnya.
Perihal hal tersebut, Hinton juga mengungkapkan kekhawatirannya soal AI bakal jadi lebih pintar dari manusia. Ini akan membahayakan potensi manusia ke depannya, jika tak ada regulasi dan pengawasan yang tepat.
“AI bisa lebih pintar dari manusia dalam waktu lebih cepat. Banyak orang berpikir masih butuh 30 hingga 50 tahun lagi untuk hal tersebut jadi nyata. Saya pun dulu berpikir seperti itu. Namun, tentu saja sekarang saya berubah pikiran,” kata dia.
Sebagai contoh, Bos Nvidia Jensen Huang telah menyampaikan hal yang cukup menggemparkan dunia.
Pria dengan kekayaan tembus Rp1.700 triliun menyebut percuma belajar ilmu komputer.
Alasannya karena komputer akan dibuat lebih pintar lagi. Jadi tak ada lagi yang perlu membuat program komputer.
“Kami akan membuat komputer jadi lebih pintar, sehingga tak ada lagi yang perlu belajar ilmu komputer untuk membuat pemrograman komputer,” kata pria dengan kekayaan Rp1.700 triliun dalam wawancara bersama Jim Cramer di CNBC International.
3. Pengangguran Bertambah Banyak
Dalam laporan yang dirilis oleh The White House, Council of Economic Advisers (CEA) menemukan cukup bukti untuk mengklasifikasikan sekelompok pekerjaan yang sangat terpapar AI sebagai “berpotensi rentan terhadap AI.
Pekerjaan-pekerjaan ini mencakup sekitar 10% dari total tenaga kerja dalam ekonomi. Selain itu, pekerjaan-pekerjaan ini sudah menunjukkan beberapa tanda-tanda penurunan permintaan, seperti pertumbuhan lapangan kerja yang lebih lambat dan jumlah pekerja baru yang lebih sedikit.
CEA menemukan bukti bahwa banyak pekerjaan yang berpotensi rentan terhadap AI tidak mengalami peningkatan keterampilan seiring waktu, meskipun sebagian besar pekerjaan lainnya telah menjadi lebih kompleks dan sulit dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dapat membuat pekerja dalam pekerjaan-pekerjaan ini lebih rentan terhadap gangguan yang terkait dengan teknologi.
Analisis baru juga menunjukkan bukti bahwa pekerja yang lebih tua lebih cenderung berpotensi rentan terhadap AI.
Kendati demikian, CEA menemukan sedikit bukti bahwa AI akan berdampak negatif pada keseluruhan lapangan kerja, meskipun hal ini dapat berdampak negatif pada beberapa pekerja akibat penurunan permintaan.
Mengutip riset Future of Jobs Report 2023, batasan pekerjaan yang dilakukan manusia dan mesin telah bergeser. Pada 2022, data menunjukkan tugas yang dikerjakan dengan mesin dibandingkan manusia masih berkontribusi sekitar 34%. Angka tersebut dalam lima tahun kemudian proyeksikan meningkat jadi 43%, sementara sisanya masih dilakukan oleh manusia.
![]() Sumber: World Economic Forum |
Proyeksi Pekerjaan yang Hilang karena AI
World Economic Forum (WEC) memperkirakan bahwa kecerdasan buatan akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan pada tahun 2025. Freethink mengatakan bahwa 65% pekerjaan ritel dapat diotomatisasi pada tahun tersebut, dengan alasan bahwa ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi, biaya dan upah yang meningkat, pasar tenaga kerja yang ketat, dan pengeluaran konsumen yang berkurang.
Lebih lanjut, pada 2030, PwC memperkirakan hingga 30% dari pekerjaan dapat diotomatisasi, dengan sedikit lebih banyak pria yang terpengaruh dalam jangka panjang karena kendaraan otonom dan mesin lain menggantikan banyak tugas manual di mana porsi pekerjaan mereka lebih tinggi. Selama gelombang pertama dan kedua, mereka memperkirakan bahwa wanita mungkin berisiko lebih besar mengalami otomatisasi karena representasi lebih tinggi mereka dalam fungsi administratif dan lainnya.