News  

79 Tahun Merdeka, Indonesia Masih Kecanduan Barang Impor

Impor masih sering diasosiasikan tindakan negatif bagi suatu negara, termasuk Indonesia. Padahal impor bagi negara berkembang bisa menjadi akselerator pertumbuhan ekonomi, dengan catatan bukan sekadar impor konsumtif.

Indonesia telah berumur 79 tahun sejak merdeka 17 Agustus 1945. Hingga saat ini, Indonesia pun masih gemar melakukan impor. Hingga Juli 2024 nilai impor Indonesia mencapai US$21,74 miliar.

Per Juli 2024, barang impor paling banyak bagi Indonesia adalah mesin/peralatan mekanis dan bagiannya yakni US$3.168,7 juta atau berkontribusi terhadap 17,11% dari total keseluruhan.

Terbesar kedua adalah impor mesin/perlengkapan elektrik dan bagiannya senilai US$2.362,8 juta atau kontribusi 14,18% dari jumlah impor.

Kemudian Indonesia mengimpor hasil minyak senilai US$2.469,1 juta atau berkontribusi terhadap 11,63% dari seluruh nilai impor.

Apakah Impor Selalu Buruk

Impor bagi negara berkembang tidak buruk karena bisa memberikan akses lebih banyak terhadap beragam barang modal yang tidak tersedia di dalam negeri. Misalnya saja mesin produksi yang lebih banyak diproduksi di luar negeri.

Sehingga mesin tersebut dapat digunakan untuk keperluan infrastruktur sehingga membuka lapangan pekerjaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, melalui impor juga bisa membawa teknologi dari luar negeri ke Indonesia. Ini memberikan peluang bagi industri dalam negeri untuk berkembang dan bersaing secara global. Sehingga pasar ekspor pun semakin luas.

Bahaya Impor Jika untuk Barang Konsumsi

Impor akan berbahaya jika merupakan barang konsumtif yang tidak dibendung atau diatur sedemikian rupa sehingga tetap menjaga kondisi dalam negeri.

Akhir-akhir ini impor mendapat sorotan tajam kala menjadi penyebab mulai gugurnya industri tekstil tanah air. Mulai dari pabrik baju hingga sepatu harus gulung tikar. Pasar tanah abang pun tak kuat membendung banjir impor tekstil dari luar lewat platform online.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor pakaian jadi secara bulanan mengalami peningkatan. Pada Juli 2024, BPS mencatat, impor pakaian jadi khususnya HS 61 yaitu pakaian rajutan dan HS 62 bukan rajutan mengalami lonjakan masing-masing 55,46% dan 29,01% secara bulanan.

Lonjakan impor yang masif berbarengan dengan penurunan industri tekstil di tanah air menimbulkan pandangan negatif bagi impor. Namun, musuh utamanya adalah impor ilegal.

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenKopUKM) menyebut, ada 50% impor tekstil dan produk tekstil (TPT) asal China yang masuk ke Indonesia secara ilegal, atau tidak tercatat. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Plt. Deputi Bidang UKM KemenKopUKM, Temmy Setya Permana dalam Diskusi Media di Kantor KemenKopUKM, Selasa (6/8/2024).

“Angka pada data ekspor barang dari China ke kita, dengan nilai angka impor kita tidak seimbang. Artinya, kita menduga ini ada indikasi produk yang masuk secara ilegal, tidak tercatat,” ujarnya.

Berdasarkan data dari internal KemenKopUKM dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), pada tahun 2021 nilai ekspor China ke Indonesia tercatat sebesar Rp58,1 triliun. Sedangkan nilai impor Indonesia dari China sebesar Rp28,4 triliun. Artinya, ada potensi nilai yang tidak tercatat sebesar Rp29,7 triliun.

Kemudian pada tahun 2022, nilai ekspor China ke Indonesia tercatat sebesar Rp61,3 triliun. Sedangkan nilai impor Indonesia dari China sebesar Rp31,8 triliun. Maka, potensi nilai impor yang tidak tercatat sebesar Rp29,5 triliun.

“Potensi impor yang tidak tercatat ini terbesar pada HS (60-63) berupa pakaian jadi,” kata Temmy.

(Sumber)