News  

Mengenal Habib Hamid Algadri, Perancang Lambang Negara Indonesia

Banyak warga masyarakat yang belum mengetahui, bahwa Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila adalah seorang Habib, yaitu Habib Hamid Algadri.

Sultan Hamid II, lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie (Algadri), adalah seorang Habib, Dzurriyah Rasulullah SAW yang sangat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia asal Pontianak dan sangat dicintai dan dibanggakan oleh masyarakat Kalimantan Barat.

Beliau adalah putra sulung Sultan Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie[1] (lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli 1913 – meninggal di Jakarta, 30 Maret 1978 pada umur 64 tahun) adalah Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia. Ia beristrikan seorang perempuan Belanda kelahiran Surabaya, yang memberikannya dua anak yang sekarang tinggal di Negeri Belanda.

Biodata:

Sultan Hamid II Syarif Hamid Alkadrie

Masa kekuasaan: 1945 – 1978

Lahir: 12 Juli 1913

Tempat lahir: Kesultanan Pontianak Pontianak, Hindia Belanda

Wafat: 30 Maret 1978 (umur 64)

Tempat wafat: Jakarta, Indonesia

Pendahulu: Sultan Syarif Thaha

Pengganti: Sultan Syarif Abubakar

Pasangan: Didi van Delden

Wangsa: Wangsa Alkadrie

Ayah: Sultan Syarif Muhammad

Anak: 2

Agama: Islam

Kehidupan awal

Sampai usia 12 tahun, Hamid dibesarkan oleh ibu angkat asal Skotlandia Salome Catherine Fox dan rekan ekspatriatnya asal Inggris Edith Maud Curteis.[3] Salome Fox adalah adik dari kepala sebuah firma perdagangan Inggris yang berbasis di Singapura. Di bawah asuhan mereka, Hamid menjadi fasih berbahasa Inggris. Pada tahun 1933, Salome Fox meninggal namun Hamid masih tetap berhubungan dengan rekannya Curteis.

Syarif Abdul Hamid menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Masa Pendudukan Jepang

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II.

Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.

Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.

Menteri Negara Zonder

Pada tanggal 17 Desember 1949, Sultan Hamid II diangkat oleh Soekarno ke Kabinet RIS tetapi tanpa adanya portofolio.[6] Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta dan termasuk 11 anggota berhaluan Republik dan lima anggota berhaluan Federal. Pemerintahan federal ini berumur pendek karena perbedaan pendapat dan kepentingan yang bertentangan antara golongan Unitaris dan Federalis serta berkembangnya dukungan rakyat untuk adanya negara kesatuan.

Perumusan Lambang Negara (Garuda Pancasila)

Saat Sultan Hamid II menjabat sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio dan selama jabatan menteri negara itu pula dia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara.

Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Portofolio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R.M. Ngabehi Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara Sultan Hamid II, Soekarno, dan Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.

Garuda Pancasila yang diresmikan 11 Februari 1950, tanpa jambul dan posisi cakar masih di belakang pita.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk rajawali yang menjadi Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Mohammad Hatta sebagai perdana menteri.

AG Pringgodigdo dalam bukunya Sekitar Pancasila terbitan Departemen Pertahanan dan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “’tidak berjambul”’ seperti bentuk sekarang ini.

Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.

Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Masa akhir

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Istana Kadriyah, Pontianak.

Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (tahun 1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.

Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. [eramuslim]