Berpindahnya tongkat komando Ketua Umum Partai Golkar dari Airlangga Hartarto ke Bahlil Lahadalila menjadi sebuah alarm bagi para ketua umum partai politik (parpol) lain. Apalagi pasca Rapimnas dan Munas Golkar, sejumlah parpol juga melakukan kegiataan serupa.
Yang perlu waspada dalam kondisi saat ini tentu saja Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Apalagi kini Cak Imin kini sedang dihadapkan dengan pansus PKB, panita khusus (pansus) yang dibentuk bukan oleh DPR, melainkan lahir dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang dimotori oleh Ketua Umum-nya Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya.
Teror Jelang Muktamar
Gerakan ini jelas sangat ingin mengambil alih PKB dari kepengurusan Cak Imin selaku ketum. Hal ini terlihat dari hasil Mandataris Pleno PBNU yang diterbitkan Jumat 23 Agustus, atau satu hari jelang pembukaan pelaksanaan Muktamar PKB di Bali. Isinya pun sudah mewakili keinginan itu.
“Menyerukan kepada seluruh muktamirin PKB untuk mengembalikan partai tersebut ke Khittah 1998 dan desain Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) seperti semula,” ujar Wakil Ketua Umum PBNU, Amin Said Husni, melalui pernyataan resmi kepada Inilah.com.
Ada lima poin yang kemudian dijabarkan dari hasil pleno PBNU.
1. PKB dideklarasikan pada 23 Juli 1998 sebagai partai politik yang lahir dari rahim NU dan proses kelahirannya ‘dibidani’ oleh PBNU, melalui serangkaian rapat-rapat resmi PBNU dan penerbitan surat-surat resmi PBNU dengan melibatkan seluruh struktur organisasi secara nasional.
2. Sebagai anak kandung Gerakan Reformasi yang lahir dari rahim NU, PKB pada awal kelahirannya benar-benar menjadi “mirroring” NU, baik dari aspek nilai-nilai dasar perjuangannya, desain konstitusi dan permusyawaratannya, maupun struktur organisasinya. Konsep struktur kepemimpinan PKB menganut struktur kepemimpinan NU di mana ulama menempati posisi kepemimpinan tertinggi. Dewan Syura berada di atas Dewan Tanfidz. Dewan Syura adalah Pimpinan Tertinggi Partai. Sedangkan Dewan Tanfidz adalah eksekutif/pelaksana saja (padsal 16 AD PKB Tahun 1998).

3. Sejak Muktamar Luar Biasa PKB di Ancol Jakarta pada 2008, PKB di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar terus mengalami perubahan yang sangat mendasar dan bahkan menyimpang sangat jauh dari desain aslinya. Yang paling prinsipil adalah perubahan posisi dan kewenangan Dewan Syura yang tidak lagi berkedudukan sebagai Pimpinan Tertinggi Partai, melainkan hanya sebagai dewan penjaga garis-garis perjuangan partai (Pasal 17 AD PKB Tahun 2019).
4. Selain itu juga terjadi penyimpangan pada sistem permusyawaratan PKB. Pada awalnya, PKB dirancang sebagai partai politik yang demokratis dan menganut piramida kedaulatan anggota. Ketua Dewan Tanfidz pada setiap tingkat kepengurusan dipilih dari dan oleh peserta musyawarah setelah mendapat persetujuan dari Ketua Dewan Syura terpilih. Namun sekarang prinsip dasar permusayawaratan dan kedaulatan itu dirombak sedemikian rupa, sehingga pimpinan partai di tingkat DPW dan DPC tidak lagi dipilih dari dan oleh peserta musyawarah, melainkan ditetapkan secara top-down oleh DPP PKB.
5. Muktamar PKB Tahun 2019 menghasilkan AD-ART PKB yang semakin jauh menyimpang dari khittahnya. Ketua Umum DPP PKB dinobatkan sebagai satu-satunya “Mandataris Muktamar”. Kekuasaan semakin memusat di tangan Muhaimin Iskandar selaku Ketua Umum. Dia punya kewenangan mengambil tindakan apa saja atas nama ‘menjaga keutuhan organisasi’. Dia juga berkuasa untuk mengubah struktur, menyusun, mengganti, dan memberhentikan personalia pengurus (Pasal 19 AD PKB Tahun 2019).
“PBNU mengajak kepada seluruh peserta Muktamar PKB yang akan bermusyawarah di Bali pada tanggal 24-25 Agustus 2014 untuk kembali ke Khittah PKB 1998 dan mengembalikan AD-ART PKB kepada desain aslinya,” kata Amin Said.
Perlu dicatat juga, beberapa hari menjelang muktamar atau tepatnya saat Jakarta disibukan dengan urusan demonstrasi menolak Revisi Undang-undang (RUU) Pilkada pada 22 Agustus, Ketum PBNU kebetulan juga bertemu Presiden Joko Widodo di Istana. Walaupun kemudian Gus Yahya mengungkap pertemuan itu hanya membahas soal ‘jatah’ PBNU di soal tambang.
Dihari yang sama juga lantas muncul sosok Sekjen Gerakan Pemuda Ansor Abdul Rochman atau Gus Adung, yang tiba-tiba menyatakan kesiapan merebut posisi Ketum PKB dari Cak Imin di muktamar. Koordinator staf khusus Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ini, mengaku telah mengantongi dukungan dari para kiai NU.
Berbarengan dengan itu, kakak Cak Imin yang juga Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar kebetulan juga diperiksa KPK dalam kasus dugaan suap dana hibah Jawa Timur (Jatim).

Belum berhenti, tiga badan otonom NU, GP Ansor, Banser dan Pagar Nusa, sempat memiliki agenda menggelar apel akbar di Bali, tepat saat pelaksanaan muktamar PKB. Pun saat pelaksanaan muktamar. Ratusan orang menggruduk tempat dilaksanakannnya muktamar PKB. Mereka menuntut agar muktamar segera dihentikan.
Runtutan kejadian itu seakan menjadi teror yang mesti dihadapi Cak Imin sebelum kemudian bos Gus Adung di kemenag, Gus Yaqut memintanya untuk mundur dari pencalonan.
”Bagi saya Gus Men (sapaan Menag Yaqut, Red) ini adalah kiai, pimpinan saya, sekaligus ulil amri,” kata Gus Adung.
Perintah sama yang juga kemudian disampaikan Gus Yahya kepada tiga badan otonom NU agar segera meninggalkan Bali.
Lewat aksi balik badan kakak dan adik ini, menjadi jalan tol bagi Cak Imin untuk kembali ke kursi Ketum PKB.
Jalan Lincah Cak Imin
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin membaca teror menjelang pelaksanaan muktamar PKB sebagai upaya cawe-cawe seperti apa yang menimpa Airlangga di Golkar.
Pertemuan antara Jokowi dengan Gus Yahya, diragukannya hanya membahas soal izin tambang saja. “Membahas tambang covernya, tapi di belakang layar bisa saja membicarakan soal, muktamar PKB. Jangan-jangan ada deal di antara mereka untuk mengacak-acak PKB, ingin intervensi dan cawe-cawe,” kata Ujang kepada Inilah.com.
Cak Imin boleh bernafas lega saat ini, sebab ia telah kembali terpilih sebagai Ketum PKB secara aklamasi setelah 514 perwakilan DPC dan 38 DPW, dan para pengurus DPP PKB tak memberikan mandatoris pada figur lain.
Kondisi saat ini, diyakini belum tepat untuk mengambil alih PKB dari tangan Cak Imin. Sikap antipati publik terhadap Istana soal RUU Pilkada, menjadi salah satu faktornya.

“Berbeda hal dengan kemarin, arahan invisible hand untuk Airlangga, angin publik kan masih belum terkonsolidasi. Jadi kalau sekarang ini justru sebaliknya, jadi kalau memang mau main -main sama cak Imin, publik bersama dia, karena sedang ada antipati kepada istana,” ujar Direktur Trias Politica Agung Baskoron kepada Inilah.com.
Selain kondisi belum tepat, Cak Imin pada kenyataanya lebih lincah dari Airlangga dalam urusan men-servis kepentingan politik penguasa.” Jadi dibanding dengan Airlangga yang meliuk -liuk, kalau Cak Imin ini lebih soft,” kata Agung.
Keputusan Cak Imin bergabung ke Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, hingga memberikan dukungan kepada sejumlah calon kepala daerah (cakada), jadi jalan keluar meloloskan diri dari himpitan. Berbeda dengan Airlangga yang terlihat menarik ulur dukungan kepada sejumlah Cakada.
Ada tiga Cakada yang kemudian disoroti Agung. Pertama tarik ulur dukungan Golkar ke menantu Jokowi di Pilgub Sumatera Utara Bobby Nasution, kemudian gelagat berkoalisi dengan PDIP dalam mendukung Airin Rachmy Diany di Banten dan pemberian dukungan untuk Ridwan Kamil maju di Pilgub Jakarta.
“Jadi tarik ulur itu kan melelahkan buat istana dan buat KIM,” kata Agung.
Sementara Cak Imin, begitu masuk KIM Plus langsung menyatakan PKB mendukung semua calon yang disodorkan KIM. Pun Cak Imin tak lagi berbicara soal narasi perubahan, seperti yang ia lakukan saat masih berduet dengan Anies Baswedan saat pelaksanaan Pilpres 2024.
“Jadi sekarang jangan dulu momennya. Tapi kalau dipaksa, kena sendiri itu Boomerang politik. Sekarang anginnya ingin melawan Istana,” kata Agung.
(Sumber)