MITOS tentang kesulitan dan kesengsaraan bagi orang dari suku Sunda yang menikah dengan orang dari suku Jawa atau sebaliknya adalah salah satu mitos yang masih banyak dipercaya hingga saat ini. Celakanya tidak sedikit hubungan cinta suci antara dua insan manusia harus kandas karena peperangan leluhur mereka yang terjadi ratusan tahun lalu.
Namun, tidak banyak orang yang menyadari bahwa permusuhan akibat sejarah kelam masa lalu yang sudah menjadi beban kejiwaan kolektif masyarakat dari kedua belah pihak pernah ditanggapi serius oleh para petinggi negeri dari dua belah pihak.
Pada tanggal 3 Oktober 2017, atas inisiasi dan kebijaksanaan Sultan Hamengkubuwono X, di Yogyakarta diresmikan dua ruas jalan arteri atau yang sering disebut Ring Road di Yogyakarta dengan nama Jalan Pajajaran dan Jalan Siliwangi. Proses peresmian ini dihadiri langsung oleh Gubernur Jawa Barat dan Walikota Bandung kala itu, Ahmad Heryawan dan Ridwan Kamil.
Bukan main-main, ruas jalan yang digunakan sebagai simbol perdamaian ini adalah ruas-ruas jalan nasional dan merupakan jalan jantung kota Yogyakarta. Bukan mengganti jalan-jalan kecil di dalam kompleks pemukiman yang hanya sebagai simbol formalitas belaka.
Kebijakan yang diambil oleh Sultan Yogyakarta ini disusul oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat di tahun berikutnya, tepatnya pada 11 Mei 2018, dengan mengganti dua nama jalan yang awalnya Jalan Gasibu dan Jalan Cimandiri menjadi Jalan Majapahit dan Hayam Wuruk. Peresmian ini juga dihadiri oleh Wakil Gubernur Yogyakarta dan Gubernur Jawa Timur kala itu, Paku Alam X dan Soekarwo.
Meski bukan jalan terpanjang di Kota Bandung, jalan ini memiliki simbol yang sangat agung, karena berada langsung di sekitaran Gedung Sate yang menjadi pusat Pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Jalan Hayam Wuruk berada di sebelah selatan Gedung Sate dan Jalan Majapahit ada di sebelah utara Gedung Sate.
Tahun berikutnya, tiba giliran Jawa Timur yang menyambut semangat perdamaian ini dengan meresmikan Jalan Prabu Siliwangi dan Jalan Sunda di Kota Surabaya.
Menyikapi Tragedi dalam Sejarah
Perang Bubat yang hingga saat ini masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan, arkeolog, dan para ahli-ahli terkait tentang kebenaran kejadian tersebut. Beberapa perdebatan ini terkait dengan beberapa sumber cerita Perang Bubat seperti Serat Pararaton dan Kidung Sunda.
Keraguan lainnya juga muncul karena tidak adanya cerita Perang Bubat dalam Negarakertagama karya Mpu Prapanca yang sudah diakui dunia dan masuk ke dalam Memory of The World pada Tahun 2013 oleh UNESCO.
Terlepas dari benar atau tidaknya kejadian ini, biarlah menjadi ranah para ahli untuk memperdebatkan keaslian sejarah ini menggunakan metodologi-metodologi yang mereka kuasai.
Seandainya pun kita anggap Perang Bubat benar-benar pernah terjadi sebagaimana yang kita pahami selama ini, sikap kita haruslah lebih dewasa menghadapinya, bukan malah memperpanjang konflik dan kebencian yang ada sejak dahulu, tetapi mengambil hikmah dan pelajaran dari tragedi tersebut.
Adapun larangan masyarakat sunda menikahi orang dari suku jawa, seperti yang diceritakan bahwa ini berawal dari perintah Prabu Niskala Wastu Kencana untuk melarang rakyatnya menikah dengan orang di luar kerajaan yang akhirnya ditafsirkan sebagai larangan menikahi orang suku jawa.
Kita perlu memahaminya dalam konteks masa itu. Larangan ini dahulu adalah sebagai sebuah sikap politik dan bentuk duka cita yang mendalam dari Kerajaan Sunda atas kejadian tersebut yang sudah merenggut nyawa ayah dan kakaknya.
Sejak zaman sebelum penyatuan kembali kerajaan sunda dan galuh pun sudah ada kisah pelanggaran aturan ini ketika Prabu Dewa Niskala, cucu dari Prabu Maharaja Lingga Buana dan anak dari Niskala Wastu Kencana sendiri yang ketika itu menjadi Raja Kerajaan Galuh menikahi seorang wanita pengungsi dari Kerajaan Majapahit.
Di zaman modern meski mitosnya masih banyak dipercaya, pada kenyataannya sudah banyak orang jawa menikah dengan orang sunda.
Dalam sebuah penelitian berjudul Who marries whom?: Ethnicity and marriage pairing patterns in Indonesia oleh Ariane Utomo dan Peter McDonald pada tahun 2016, prevalensi perkawinan antara orang suku Jawa dan orang suku Sunda cukup tinggi. Suku Sunda menjadi suku yang paling banyak dinikahi oleh suku Jawa selain suku Jawa sendiri, begitu pun sebaliknya.
Hari ini kita sudah berada dalam situasi sosial dan politik yang jauh berbeda dari ratusan tahun yang lalu. Masyarakat sunda maupun masyarakat Jawa hari ini ada dalam satu naungan Republik Indonesia dengan semboyan yang dijunjung bersama yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Selama masa-masa perjuangan kemerdekaan Indonesia pun saya yakin isu konflik Sunda-Jawa ini tidak menjadi hal yang penting atau setidaknya tidak mashyur di kedua belah pihak. Terbukti ketika Divisi Siliwangi hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Yogyakarta, disambut baik oleh masyarakat yang notabene adalah suku jawa.
Bahkan Walikota Pertama Yogyakarta adalah Tokoh Sunda dan sekaligus tokoh Paguyuban Pasundan yaitu Moch Enoch.
Ketika terjadi polemik tentang status keistimewaan Yogyakarta di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun Dewan Kasepuhan Masyarakat Sunda mendukung penuh Sultan Hamengkubuwono X untuk memperjuangkan status keistimewaan Yogyakarta.
Bagaimana mungkin ini terjadi jika masyarakat suku Jawa dan suku Sunda ketika itu menyimpan dendam dan benci satu sama lain?
Yang lalu biarlah berlalu, tugas kita hari ini adalah bersatu padu demi Indonesia yang lebih maju.
Tidak adil rasanya jika kita harus membenci atau menghakimi satu orang atau sekelompok orang atas kesalahan leluhurnya di masa lalu yang mana dia atau mereka sama sekali tidak ikut andil dalam konflik tersebut.
Sebagaimana kita memahami penderitaan orang tua kita di jaman penjajahan tidak serta merta membuat kita senantiasa membenci orang yang berasal dari Belanda atau Jepang secara pribadi bukan?***
(Sumber)