Gegap gempita kader-kader Partai Golkar atas kedigdayaan di Pemilu 2024 tak berlangsung lama. Tak sampai tahun berganti, kebanggaan itu sirna. Seperti dihujam paruh garuda, kader partai ini tersentak. 10 Agustus 2024, Airlangga Hartarto yang kala itu menjabat Ketua Umum mengundurkan diri.
Kabar pengunduran diri Airlangga Hartarto membuat keriuhan di internal Partai Golkar. Tidak ada hujan apalagi badai, kenapa pucuk pimpinan partai ini tiba-tiba meninggalkan pesta yang belum usai digelar. Pertanyaan yang tak kunjung tuntas mendapat jawaban. Alih-alih mencari jawaban, roda organisasi di tubuh partai beringin haruslah terus berjalan. Munas XI menjadi jawaban.
Kebingungan demi kebingungan terus berdengung. Namun lembar harus berganti. Saat Rapimnas dan Munas XI usai digelar, kebingungan itu sirna. Yang ada hanyalah mencari selamat masing-masing. Tidak ada lagi waktu untuk bingung. Apalagi tenggat pendaftaran Pilkada 2024 tinggal hitungan hari dari gelaran Munas XI pada saat itu.
Segalanya berjalan lancar, Bahlil Lahadalia terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar. Namun, lancarnya perhelatan Munas XI berbeda 180 derajat dengan pemberian rekomendasi Pilkada 2024. Pemberian rekomendasi untuk calon kepala daerah nyatanya banyak yang berubah dari keputusan yang telah diberikan di era Airlangga Hartarto.
Secara objektif saya harus mengatakan bahwa mesin politik Partai Golkar yang berhasil membawa partai ini meraih 102 kursi DPR RI di Pemilu 2024 sedang dipreteli. Dalam istilah yang saya pinjam dari senior, John Keban, ia mengatakan Partai Golkar sedang dibonsai. Saya mengamini itu. Tidak ditebang secara total memang. Namun, beringin yang dulu gagah itu daun-daunnya mulai dipangkas. Batangnya diperkecil hingga sulit bertumbuh. Hanya akar yang terlihat masih bertahan.
Sayangnya, akar akan mendapat giliran pembonsaian ini, seiring implikasi logis dari pemberian rekomendasi calon kepala daerah yang meminggirkan unsur PDLT dan saintifik dalam penentuannya. Banyak ketua DPD II dan DPD I yang harus rela memberikan posisinya sebagai calon kepala daerah kepada orang lain. Sebagian dari mereka bahkan bukan kader Partai Golkar. Malah ada calon kepala daerah yang dikarbit sebagai kader di hari pendaftaran Pilkada demi memaksakan alasan, “Kita tetap usung kader sendiri”. Persoalan ini bakal menjadi bom waktu pada saatnya nanti.
Rekomendasi yang meminggirkan PDLT, saintifik dan keutuhan organisasi membuat pembelahan terjadi di mana-mana. Beberapa menganggap wajar, dengan alibi bahwa ini adalah politik, memang begitu dinamikanya. Bukan persoalan politiknya yang wajar atau tidak. Tapi kesadaran dan kebanggaan kita sebagai kader Partai Golkar, yang harusnya merasa terusik. Tidakkah kita menyayangi partai ini secara utuh? Lalu bagaimana kita melihat kondisi ini secara jernih?
Bukankah kita seharusnya belajar dari pengunduran diri Airlangga Hartarto sebagai ketua umum? Siapa pihak-pihak yang bisa dengan leluasa mengobok-obok Partai Golkar? Kenapa tidak kita bergandengan tangan menyatakan bahwa partai ini punya kedaulatan, punya caranya sendiri untuk berpolitik. Kemana para cendekiawan dan pemikir di Partai Golkar? Apakah sudah berubah menjadi calo politik yang hanya melihat dinamika sebagai kesempatan untuk meretas masuk dalam dimensi baru yang lebih strategis nantinya?
Mengikuti dan mempercayakan jalannya organisasi Partai Golkar pada sang supir memang perlu. Tapi kalau mobil yang kita tumpangi hendak dihujamkan ke tepi jurang oleh sang supir, apakah kita masih harus diam dan tetap percaya? Andaikata sang supir berkata bahwa terjun ke jurang dilakukan demi keselamatan kita semua, bisakah alasan yang demikian kita terima?
Langkah politik Airin Rachmi Diany di Pilgub Banten misalnya, sedikit banyak telah membuktikan bahwa demi keselamatan, tak perlu menuruti apa kata supir yang hendak membawa kita ke jurang. Dengan hanya sedikit perlawanan yang diberikan, Airin telah membuktikan bahwa Partai Golkar sebenarnya masih punya kedaulatan. Persoalannya kemudian, kita mau memperjuangkan kedaulatan yang kita miliki atau hanya berdiam diri sambil dikungkung kekuasaan yang tak berwujud?
Airin Rachmi Diany agaknya beruntung, ia adalah simbol perempuan di Partai Golkar. Elektabilitasnya sangat tinggi untuk mengikuti Pilgub Banten. Sehingga ketika perlawanan dilakukan pun, kita justru bersimpati terhadap apa yang terjadi pada Airin. Grup-grup whatsapp Partai Golkar ramai-ramai mempertanyakan keputusan DPP yang memberikan rekomendasi Pilgub Banten kepada Andra Soni dan Dimyati. Dinamika politik bergerak, Airin melawan, jadilah DPP Partai Golkar bergeming atas perlawanan yang dilakukan Airin. Surat dukungan Pilgub Banten pun berubah dalam waktu satu hari.
Cerita berbeda dialami oleh Arinal Djunaidi di Pilgub Lampung, Suhaili di Pilgub NTB, Eddy Berutu di Pilkada Kabupaten Dairi, Mad Romli di Pilkada Kabupaten Tangerang, Syaefudin di Pilkada Kabupaten Indramayu, dan banyak lagi daerah lainnya. Mereka adalah kader Partai Golkar, lalu dicap pengkhianat karena tetap maju Pilkada walaupun tanpa diusung partai ini. Meski kasus per kasus berbeda, tetap saja, kita sudah kehilangan kata soliditas. Jangankan menjaga soliditas, menjaga rasa percaya terhadap sesama kader saja menjadi barang yang langka hari ini.
Lalu, bagaimana kalau orang-orang yang dibuang di Pilkada 2024 itu memenangkan Pilkada? Bukankah kita akan berubah wujud lagi sebagai penjilat paling handal. Menjilati lagi kata caci dan maki atas tuduhan pengkhianatan yang telah diberikan. Lantas siapa yang sebetulnya berkhianat di atas kata pamungkas menjaga keutuhan Partai Golkar? Jawabannya adalah kita semua yang telah mendiamkan kondisi ini. Dalam fase seperti ini, ada baiknya kita mendengar pesan Will Rogers, “Walaupun Anda di jalur yang benar, anda akan dilindas bila hanya duduk dan berdiam diri disana.”
Oleh Rezha Nata Suhandi
Kader Muda Partai Golkar