News  

Usai PPN 12 Persen Berlaku Awal 2025, Dampak Horor Bakal Hantui Mal dan Ritel

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025 menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan pengusaha, khususnya di sektor ritel dan pusat perbelanjaan.

Mereka memproyeksikan kenaikan tersebut tidakcuma memicu lonjakan harga barang, tetapi juga semakin menekan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah bawah, yang menjadi backbone perekonomian Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengungkapkan, daya beli masyarakat sudah menunjukkan pelemahan sejak awal tahun 2024. Menurutnya, kebijakan kenaikan PPN 12 persen hanya akan memperburuk situasi, di mana dampaknya akan terjadi kenaikan harga produk dan barang dan pada akhirnya mengurangi kemampuan masyarakat untuk berbelanja.

“Dari awal kami meminta pemerintah untuk menunda kenaikan PPN ini dari 11 persen menjadi 12 persen, karena berpotensi semakin menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah bawah. Karena kenaikan PPN ini akan mempengaruhi harga produk, harga barang akan naik,” kata Alphonzus, seperti dikutip Minggu (17/11/2024).

Ia pun mengingatkan daya beli masyarakat adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, dengan kontribusi konsumsi rumah tangga mencapai 57 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Ia khawatir penurunan daya beli ini akan menghambat target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.

“Struktur masyarakat Indonesia kan didominasi oleh kelas menengah bawah. Artinya kalau ini terganggu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terdampak,” ucapnya.

Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budihardjo Iduansjah juga menyatakan keprihatinannya. Menurut dia, kenaikan PPN akan menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha, terutama dalam hal likuiditas.

Budihardjo menilai kenaikan PPN menjadi 12 persen akan mempengaruhi cash flow pelaku usaha, terutama karena mereka harus membayar pajak di awal meski pembayaran dari konsumen belum diterima sepenuhnya.

“Artinya, kadang-kadang kita harus setor pajak, sedangkan kita belum terima pembayaran. PPN 12 persen itu cukup besar. Jadi likuiditasnya terserap ke pajak sih,” katanya.

Selain itu, Budihardjo menyoroti daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih sejak pandemi COVID-19, sehingga kebijakan kenaikan PPN 12 persen ini dianggap tidak tepat waktu.

Oleh sebab itu, para pengusaha secara kompak meminta pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan ini. Jika pemerintah tetap menaikkan PPN jadi 12 persen, mereka berharap ada insentif atau stimulus yang diberikan untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah bawah, agar dampak negatif dapat diminimalisir.

“Kalau memang ini harus dilakukan (kenaikan) PPN 12 persen, penerimaan negara itu dibalikin ke bawah. Diberikan program-program yang menyentuh bawah, sehingga daya belinya naik ke atas,” ucapnya.

Sejalan untuk meminta penundaan implementasi PPN 12 persen, Budihardjo berencana menyurati Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk melakukan audiensi.

“Ya kami kan dari awal mengimbau untuk ditunda PPN 12 persen karena situasinya sedang tidak tepat dan kami sedang merencanakan untuk PPN ini untuk mengirim surat ke Ibu Menteri (Sri Mulyani) melakukan audiensi,” katanya.

Meski demikian, dia tak menampik ihwal kenaikan PPN 12 persen telah tercantum dalam Undang-Undang. Namun, menurutnya itu bisa diganti dengan peraturan pengganti undang-undang untuk sementara waktu dari Presiden.

“Memang ini adalah undang-undang, tapi kan mungkin bisa dibantu dengan PERPU, mungkin peraturan Presiden pengganti undang-undang. Poinnya kami minta ditunda 1-2 tahun atau gimana, sambil lihat situasi itu. Jangan dilakukan dulu di Januari 2025, karena waktu sangat pepet,” lanjut Budihardjo.

(Sumber)