Tim ekonomi Kabinet merah Putih (KMP) pilihan Presiden Prabowo, disarankan untuk menimbang kembali rencana menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2024. Kalau dipaksakan pasti membeani rakyat yang saat ini sedang ditimpa masalah keuangan.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar menjelaskan, ada 3 syarat yang harus dipenuhi sebuah negara jika ingin menaikkan PPN.
Apalagi jika angka kenaikan PPN dipatok setinggi 12 persen. Angka itu boleh dibilang yang tertinggi di ASEAN. Malaysia atau Singapura saja yang perekonomiannya stabil, PPN-nya masing-masing hanya 6 persen dan 7 persen. Atau Kamboja lebih tinggi yakni 10 persen.
Ketiga syarat penerapan PPN tinggi, lanjut Media, terkait dengan penghasilan atau pendapatan per kapita, stabilitas struktur ekonomi serta tingginya tingkat kepatuhan pajak. Sayangnya, kondisi Indonesia saat ini belum memiliki ketiganya.
“Mereka negara yang PPN-nya tinggi, artinya bayar pajak, mahal setiap beli barang, itu biasanya pendapatan per kapitannya tinggi. Nah kalau kita sisir satu-satu pendapatan per kapita kita tinggi nggak? Nggak. Kita masih berada di ambang bawah untuk negara berkembang maju,” kata Media di Jakarta, dikutip Sabtu (30/11/2024).
Media betul. Penghasilan rakyat Indonesia secara tahunan, masih tergolong rendah. Menurut Bank Dunia, suatu negara dinyatakan berpenghasilan menengah jika memiliki produk domestik bruto (PDB) per kapita tahunan di kisaran US$1.136 (Rp18,4 juta) hingga US$13.845 (Rp224,3 juta).
Produk domestik bruto adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan berbagai unit produksi di suatu negara dalam jangka waktu biasanya satu tahun. Sedangkan negara dinyatakan maju jika PDB per kapita tahunan mencapai US$85.373 (Rp1,38 miliar).
Masih menurut Bank Dunia, Indonesia perlu waktu 70 tahun untuk masuk jajaran negara berperekonomian maju. Tahun ini, Indonesia mendapat PDB per kapita sebesar US$5.271 (Rp85,4 juta). Sementara India perlu waktu lebih lama lagi yakni 75 tahun.
Untuk mengukur stabilitas perekonomian, lanjut Media, bisa dicermati terjaganya inflasi serta perekonomian domestik yang kuat kuat. “Jadi menaikkan PPN atas dasar luar rule-nya ini juga nggak masuk akal. Ada negara yang PPN-nya tinggi, seperti Kanada, misalkan karena tingkat kepatuhan pajaknya tinggi,” imbuh Media.
Dia menduga, salah satu alasan kenapa tim ekonomi Presiden Prabowo begitu ngotot memberlakukan PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025, karena besarnya kebutuhan anggaran, sempitnya ruang fiskal dan janji politik yang berat diongkos.
Lebih lanjut, pihaknya pun telah menghitung kenaikan PPN ini berdampak pada potensi nilai ekonomi yang hilang mencapai Rp79 triliun. Ditambah lagi peluang susutnya Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp65 triliun, dan terkontraksinya ekspor sebesar Rp19 triliun.
“Konsumsi rumah tangga juga menurun Rp40 triliun. Nah, ini yang paling signifikan. Ekspor kita juga terkontraksi Rp19 triliun. Kenapa ekspor turun? Ya sederhana, biaya operasional pasti akan meningkat signifikan,” kata Media.
Dia menyebut, potensi terjadinya shock dalam rantai pasok berdampak kepada naiknya harga barang yang memberatkan konsumen. Misalnya, biaya produksi barang yang tadinya hanya Rp100 ribu, akibat kenaikan biaya logistik, dan lain-lain, berdampak kepada naiknya harga barang menjadi signifikan. “Karena pendapatan tak cukup, konsumen akan menekan belanja. Dampaknya bisa ke mana-mana itu,” pungkasnya.(Sumber)