News  

Permendag No. 2/2025 Makan Korban, Para Pengepul Minyak Jelantah Setop Operasional

Pemerintah memperketat ekspor limbah cair pabrik kelapa sawit atau Palm Oil Mill Effluent (Pome), residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR), dan minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO).

Pengetatan ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 2 tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan No 26 tahun 2024 tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit.

Permendag ini baru berlaku sejak 8 Januari 2025 lalu, namun dampaknya sudah langsung terasa. Akibat regulasi ini, ada pelaku usaha limbah kelapa sawit yang menghentikan operasional sementara. Salah satunya CV Arah Baru Sejahtera (ABS) yang menjadi pemasok ke PT Medan Bioenergi Nusantara.

CV ABS selama ini menjadi pengepul minyak goreng bekas atau minyak jelantah yang beroperasi di pergudangan di Kelurahan Air Hitam, Kecamatan Payung Sekaki, Pekanbaru, Riau.

M Rizky Ramadhan selaku Origin Manager of Pekanbaru CV ABS mengatakan, minyak goreng bekas yang mereka kumpulkan kebanyakan diekspor ke negara-negara Eropa.

“Untuk pembelian jelantah, kita hentikan sementara. Kecuali untuk mitra dan supplier bank jelantah, kita selesaikan sampai habis kontrak,” ujarnya kepada elaeis.co, Senin (13/1).

“Bukan hanya berhenti operasional sementara, kami juga terancam kehilangan pasar ekspor kalau pengiriman dihentikan,” sambungnya.

Rizky sangat menyayangkan kebijakan pengetatan ekspor itu. Sebab, masyarakat yang mencari tambahan pendapatan dari jual beli jelantah justru menjadi korban. Apalagi harga yang ditawarkan pada transaksi terakhir tengah melambung tinggi, sampai Rp 11.000/kg.

“Kita masih tunggu kepastian hingga 14 Januari 2025 besok. Sampai dapat kepastian informasi yang jelas, baru kita operasional kembali,” terangnya.

Dikatakannya, saat ini stok minyak jelantah di gudangnya masih menumpuk. Ia mengaku terancam merugi karena sebelumnya minyak jelantah yang dikumpulkan dari masyarakat, dibeli dengan harga yang lumayan tinggi. Sementara dengan adanya kebijakan pengetatan ekspor itu, dipastikan harga akan anjlok.

“Jika terus begini, buyer dan refinery bakal mikir juga kalau beli bahan baku biodiesel ke Indonesia. Banyak regulasinya dan harganya mahal pula, mereka mungkin bakal cari ke negara lain. Kalau sudah begitu, tentu kita kehilangan pasar ekspor,” sesalnya.

“Biasanya kami mampu mengekspor 65-126 ton minyak jelantah ke luar negeri. Pangsa pasarnya adalah negara-negara Eropa,” tambahnya.(Sumber)