Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) baru-baru ini mengemukakan, temuan 45 persen menu makan bergizi gratis (MBG) masih menambahkan produk ultra processed food (UPF) berupa susu kemasan berperisa yang tinggi kadar gula.
Hal itu disampaikan CEO Founder CISDI Diah Satyani Saminarsih berdasarkan hasil analisis pihaknya terhadap 29 sampel menu makanan di beberapa lokasi.
“Pangan ultra-proses juga diolah secara industri untuk menyebabkan adiksi melalui rasa yang sangat nikmat dan dapat memicu keinginan konsumsi kalori yang lebih tinggi setelahnya,” kata dia dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (9/2/2025).
Ketersediaan produk pangan ultra-proses yang mengandung kadar gula, lemak, dan garam (GGL) berlebih merupakan salah satu penyebab utama dari tren obesitas, hipertensi, dan penyakit tidak menular lainnya.
Selain itu Diah juga mewanti-wanti penggunaan pangan ultra-proses berpotensi menggantikan konsumsi makanan tradisional yang cenderung minim pengolahan, dan mengandung lebih banyak nutrisi bermanfaat.
Menurut dia, pemerintah Indonesia bisa belajar dari Brasil yang mewajibkan penggunaan 85 persen anggaran makan gratis di sekolah (free school meals) untuk pangan segar.
Pemerintah Brasil juga membatasi belanja produk pangan olahan maksimal 15 persen dari total anggaran dan melarang belanja produk pangan ultra-proses untuk program makan gratis di sekolah.
Dalam laporannya, Diah turut mengkritisi penggunaan susu kemasan berperisa dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dinilai kurang tepat.
Meskipun susu merupakan sumber protein yang baik, banyak produk susu kemasan mengandung kadar gula tinggi serta zat inhibitor zat besi.
“Jika zat inhibitor ini dikonsumsi bersamaan dengan sumber zat besi, penyerapan zat besi dalam tubuh akan terhambat,” ujar Diah.
Ia juga mengaitkan hal ini dengan risiko anemia. Berdasarkan Survei Kesehatan 2023, prevalensi anemia pada remaja putri di Indonesia memang mengalami penurunan dari 27% lima tahun lalu menjadi 16,3 persen, namun tetap menjadi perhatian.
“Mengingat angka anemia pada remaja putri di Indonesia masih tinggi, sekitar 1 dari 3 remaja, dan menjadi masalah kesehatan masyarakat. Zat inhibitor direkomendasikan dikonsumsi sekitar dua jam setelah makan,” tuturnya.(Sumber)