Terungkapnya skandal korupsi minyak mentah Pertamina membuat publik mengelus dada. Pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny Sasmita menyebut, buruknya tata kelola di internal menjadi satu dari empat faktor perusahaan pelat merah ini tak kunjung mampu saingin Petronas milik Malaysia.
“Kalau pun produksi Pertamina itu sangat besar dibanding Petronas, karena korupsinya tinggi, proses pengambilan keputusan, penentuan harga jual, harga produksi dan lain-lain itu sangat tertutup dikuasai oleh pihak-pihak tertentu saja sehingga keuntungannya kan menjadi sedikit,” ungkap dia saat berbincang kepada Inilah.com, di Jakarta, Sabtu (1/3/2025).
Faktor yang kedua, kata dia, berkenaan dengan teknologi yang dimiliki oleh Pertamina yang terbilang sudah mulai tua dan tak kunjung diremajakan. “Itu yang menjadi penyebab tingkat produksinya menjadi tidak efisien, biaya produksinya menjadi jauh lebih mahal,” kata Ronny.
“Faktor ketiga ya seperti yang kita tahu, pemerintah boleh jadi by mission, bisa jadi by commision disengaja maupun tidak disengaja, membiarkan mitra-mitra dari Pertamina baik anak usaha maupun mitra luar yang melakukan pengadaan, melakukan eksplorasi itu menikmati terlalu banyak,” jelasnya.
Terakhir kata dia, tentu faktor politik sangat berperan dalam capaian keuntungan Pertamina. Ia menyatakan Pertamina yang merupakan BUMN maka melibatkan para politisi di Senayan, di Istana, dan semacamnya.
“Karena Pertamina adalah BUMN jadi semua keputusannya harus melalui pemerintah sehingga untuk mendapatkan keputusan yang menguntungkan bagi Pertamina, itu harus mengeluarkan biaya politik yang cukup besar sehingga ini menggerus berbagai potensi keuntungan untuk Pertamina,” tandasnya.
Asal tahu saja, per Februari 2024, cadangan minyak bumi di Indonesia sebesar 4,7 miliar barel sementara cadangan minyak Malaysia sebesar 2,7 miliar barel. Akan tetapi, laba bersih PT Pertamina (Persero) per Oktober 2024 sebesar Rp42,35 triliun. kalah jauh dari laba bersih Petroliam Nasional Bhd alias Petronas sebesar 55,1 miliar ringgit atau setara Rp203,5 triliun.
Kedua perusahaan ini kembali dibandingkan usai mencuat skandal dugaan korupsi minyak mentah. Sebelumnya, Pertamina dan Petronas juga sempat dibanding-bandingkan, medio Agustus 2022. Kala itu Menteri BUMN Erick Thohir memberika pembelaan.
Salah satu yang digarisbawahi berkenaan konsumsi domestik yang lebih besar, menyebabkan Pertamina harus mengimpor minyak mentah. Sebaliknya, Malaysia dengan konsumsi yang lebih kecil memungkinkan Petronas untuk tetap menjadi net eksportir migas.
Korupsi Minyak Mentah Pertamina
Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka dalam skandal korupsi tersebut. Dua tersangka terbaru adalah Maya Kusmaya, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, serta Edward Corne, VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga. Keduanya langsung ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Adapun modus yang digunakan, antara lain, pengoplosan produk minyak berkadar oktan rendah dengan oktan tinggi serta pengadaan bahan bakar dengan sistem penunjukan langsung tanpa lelang.
Akibat praktik ini, harga BBM yang diperoleh jauh lebih mahal dari harga seharusnya. Kerugian negara akibat skandal ini diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun, menjadikannya salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia.
Kejagung telah mengungkap adanya kesepakatan ilegal dalam pengadaan minyak mentah yang merugikan negara dalam jumlah fantastis. Selain Maya Kusmaya dan Edward Corne, tujuh tersangka lainnya adalah:
1. Riva Siahaan – Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
2. Sani Dinar Saifuddin – Direktur Optimasi Feedstock dan Produk
3. Yoki Firnandi – Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping
4. Agus Purwono – Vice President Feedstock Manajemen Kilang Pertamina Internasional
5. Muhammad Kerry Andrianto – Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa
6. Dimas Werhaspati – Komisaris PT Navigator Khatulistiwa
7. Gading Ramadhan Joedo – Komisaris PT Jenggala Maritim.(Sumber)