Pengamat Mata Uang, Ibrahim Assuaibi menilai wajar jika Bank Dunia menyematkan Indonesia sebagai negara dengan penerimaan pajak terburuk periode 2016-2021.
“Ya memang wajar, tapi dengan adanya informasi ini (dari Bank Dunia), ke depan Kemenkeu diharapkan lebih sigap lagi dan lebih berhati-hati dalam menyusun suatu rencana. Untuk rencana 2026-2029 (harus cukup matang) pada masa pemerintahan Prabowo-Gibran,” ujar Ibrahim kepada inilah.com saat dihubungi di Jakarta, dikutip Selasa (1/4/2025).
Akan tetapi, Ibrahim menilai bukan sistem Coretax yang menjadi penyebab utama rendahnya penerimaan pajak.
“Sejumlah ekonom mengatakan Coretax yang membuat penerimaan pajak Indonesia mengalami penurunan. Tetapi menurut saya bukan itu yang menjadi permasalahan,” kata Ibrahim.
Menurutnya, permasalahan pertama turunnya penerimaan pajak Indonesia adalah karena kondisi global yang tidak menentu. Penguatan mata uang dolar Amerika Serikat yang membuat banyak perusahaan-perusahaan termasuk perusahaan yang berbasis primer, seperti konveksi dan infrastruktur mengalami kebangkrutan padahal salah satu pendapatan terbesar dari pajak dari situ.
Kedua, pemerintah mengurangi anggaran terutama anggaran infrastruktur sebesar 47-50 persen sehingga terjadi stagnasi.
“Dari situ sepi proyek yang mendapatkan penghasilan pajak ya PPN, Pph cukup banyak. Nah pada saat infrastruktur terhenti dan sebagainya mengalami penurunan,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia menyatakan seharusnya pemerintah dapat fokus terhadap pajak ritel, seperti kafe dan restoran. Ibrahim tak yakin bila perusahaan atau pemilik kafe dan restoran, akan 100 persen menyerahkan pajak yang telah dipungut dari konsumen ke pihak yang berwenang.
“Perlu ada suatu pengawasan penting pada saat kondisi-kondisi yang lain yang mengalami penyusutan, ya seharusnya pemerintah fokus terhadap ritel, terutama adalah restoran, kafe yang kita tahu saat ini sedang menjamur,” ucap dia.
“Kita mungkin pada saat makan akan terkena pajak, apakah pajak itu masuk secara semuanya 100 persen atau tidak, ini yang harus dianalisis juga oleh pemerintah,” sambungnya.
Selain pajak di sektor ritel, Ibrahim menyatakan aset kripto juga mempengaruhi sedikitnya penerimaan pajak yang diterima Indonesia.
“Banyak sekali pengusaha-pengusaha Indonesia maupun para pejabat, politikus yang penarikan dana dari luar negeri menggunakan aset kripto. Dampaknya, aset kripto ini sulit dideteksi juga oleh pemerintah, terutama dalam hal ini Bank Indonesia (BI) yang akan mempengaruhi pendapatan pajak,” ungkapnya.
Berdasarkan laporan berjudul Economic Policy: Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia yang dipublikasi pada 2 Maret 2025, Bank Dunia menganalisis data perpajakan Indonesia periode 2016-2021. Kesimpulannya: “Kinerja Indonesia dalam pengumpulan penerimaan pajak sangat buruk.”
Dikutip pada Rabu (26/3/2025), Bank Dunia mencatat Pemerintah Indonesia rata-rata kehilangan potensi pendapatan Rp546 triliun/tahun, dampak ari rendahnya kepatuhan pajak
Potensi kehilangan pendapatan itu terbagi dari dua sumber yakni pajak pertambahan nilai (PPN) yang angkanya mencapai Rp386 triliun dan Pajak penghasilan (PPh) Badan sebesar Rp160 triliun per tahun. Bank Dunia menilai pemerintah Indonesia tak efisien dalam memungut pajak.(Sumber)