News  

Rupiah Bisa Tembus Rp. 18.000, Anthony Budiawan Peringatkan Krisis Moneter Akibat Kebijakan Tarif Trump

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan/Net

Kebijakan ekonomi global Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengguncang pasar keuangan dunia. Pemberlakuan tarif impor resiprokal terhadap negara-negara penyumbang defisit perdagangan Amerika Serikat, yang dikenal sebagai ‘Dirty 15’, langsung memicu reaksi negatif di bursa saham global. Dalam waktu dua hari, kapitalisasi pasar global menyusut sebesar 6,6 triliun dolar AS. Indonesia pun diperkirakan tak luput dari dampak serius kebijakan ini.

Pengamat ekonomi Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), mengeluarkan peringatan keras bahwa kebijakan Trump tersebut bisa menjadi awal dari krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia. Ia menyebut bahwa pasar saham Indonesia akan mengikuti jejak kejatuhan bursa global, sementara nilai tukar rupiah diperkirakan akan menyentuh level kritis.

“Pasti, dua hari yang lalu, dan hari ketiga ini, bursa efek jatuh atas respons kebijakan tarif resiprokal Trump. Seperti yang sudah saya tulis, bursa efek Indonesia juga akan bernasib sama,” tambahnya kepada Radar Aktual, Senin (7/4/2025)

Menurut Anthony, pasar modal Indonesia tengah menghadapi kondisi overvalued, karena belum mengantisipasi dampak kebijakan tarif tersebut akibat libur panjang Lebaran. Ia memperkirakan ketika pasar kembali dibuka, investor akan melakukan aksi jual besar-besaran, menyebabkan IHSG merosot tajam.

Namun kekhawatiran yang lebih besar terletak pada stabilitas nilai tukar rupiah dan arus modal asing. Anthony menyoroti bahwa saat ini utang luar negeri Indonesia mencapai sekitar 430 miliar dolar AS, sebagian besar dalam bentuk obligasi. Jika terjadi aksi divestasi sebesar 10 persen saja dari pemegang obligasi, maka tekanan terhadap rupiah akan sangat besar.

“Rupiah akan turun ke Rp17.500 – Rp18.000, dengan kemungkinan bisa anjlok lebih parah,” tegasnya.

Anthony menilai intervensi Bank Indonesia melalui cadangan devisa tidak akan cukup untuk menahan laju depresiasi rupiah. Satu-satunya opsi adalah menaikkan suku bunga acuan guna mencegah arus keluar modal yang lebih besar. Namun langkah ini juga membawa konsekuensi yang berat.

“Kenaikan suku bunga BI pada gilirannya akan ‘membunuh’ sektor riil yang memang sedang sekarat akibat tarif resiprokal Trump,” ujarnya. Ia memperingatkan bahwa banyak perusahaan berisiko gagal bayar utang akibat tekanan kurs dan kenaikan bunga, baik untuk utang domestik maupun luar negeri. Ini berpotensi menciptakan efek domino krisis ekonomi yang lebih dalam.

Dalam konteks fiskal, Anthony menyatakan bahwa pemerintah juga berada dalam posisi yang sangat sulit. Penerimaan negara diperkirakan akan menurun akibat pelemahan ekonomi, sementara kebutuhan belanja negara justru meningkat untuk mendorong stimulus. Pemerintah dihadapkan pada dilema: menurunkan tarif pajak untuk mendorong konsumsi atau menaikkan pajak untuk menyelamatkan APBN.

“Menurunkan tarif pajak untuk stimulus ekonomi hampir mustahil, karena fiskal akan kolaps. Sebaliknya, menaikkan tarif pajak akan mempercepat ‘membunuh’ ekonomi,” tulisnya dalam analisis tersebut.

Anthony juga menyoroti lambannya respons pemerintah Indonesia terhadap dinamika global yang sedang berubah cepat. Ia menyayangkan belum adanya langkah konkret dari otoritas keuangan nasional untuk mengantisipasi dampak sistemik dari kebijakan proteksionis Amerika.

“Sampai hari ini, Indonesia belum memberi reaksi memadai atas diberlakukannya tarif resiprokal Trump ini. Hal ini tentu saja tidak baik. Semoga pemerintah siap, dan mampu, mengatasi tantangan ekonomi dalam waktu dekat ini,” tegasnya.

Peringatan dari Anthony Budiawan menjadi sinyal penting bagi para pengambil kebijakan dan pelaku pasar. Jika langkah-langkah mitigasi tidak segera dilakukan, krisis moneter 1998 bisa saja terulang dalam bentuk dan skala yang berbeda. Dengan tekanan dari sisi perdagangan internasional, sektor keuangan, dan pasar domestik yang memburuk secara simultan, perekonomian Indonesia benar-benar berada di persimpangan krusial.