News  

Fachry Ali Ajak Alumni HMI Gaungkan Mazhab Ciputat ke Publik

Ratusan kader dan alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat berkumpul di Auditorium Wisma Syahida, Kampus II UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sabtu 10 Mei 2025.

Mereka hadir dalam rangkaian acara Halalbihalal Korps Alumni HMI (KAHMI)-HMI Cabang Ciputat 2025.

Tampak tokoh penting hadir, mulai dari Ketua Muda Agama Mahkamah Agung RI Yasardin, mantan Wakil Menteri Luar Negeri A.M. Fachir, hingga Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) TB Ace Hasan Syadzili.

Hadir juga cendikiawan Fachry Ali serta sejumlah guru besar dan pejabat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam kesempatan itu, Fachry Ali menggaungkan kembali sejarah panjang sebuah arus pemikiran yang akrab disebut Mazhab Ciputat.

“Mazhab Ciputat itu sebenarnya sesuatu yang berhubungan dengan gagasan-gagasan Cak Nur,” ujarnya merujuk pada Nurcholish Madjid (Cak Nur), tokoh pembaruan Islam Indonesia yang begitu lekat dengan HMI dan Ciputat.

Menurut Fachry, tanpa pemikiran Cak Nur, HMI Ciputat tidak akan pernah dikenal seperti sekarang.

“Ada gagasan pembaruan yang menyentak. Gagasan itu menohok sistem pemikiran lama yang selama ini kita kenal, pegang, dan bahkan kita imani,” jelasnya.

Fachry juga mengungkapkan bahwa sudah ada rencana untuk memperkenalkan Mazhab Ciputat ke ruang publik lebih luas. Saat itu ia mengagasnya bersama Ihsan Ali Fauzi, Bahtiar Effendy. Bahkan sudah ada proposal simposium tentang Mazhab Ciputat.

Menurutnya, ciri pemikiran islam Mazhab Ciputat ialah kebenaran tidak terkontemplasi pada satu tempat, kebenaran juga bisa dimiliki oleh mereka di wilayah-wilayah yang tidak dianggap suci. Ketiga, ada keinginan untuk mengoreksi terus-menerus.

“Jadi Mazhab Ciputat itu sesuatu pemikiran yang ingin melanjutkan gagasan Cak Nur,” tegas Fachry Ali.

Atas dasar itu, ia mengatakan Halalbihalal kali ini perlu lebih dari sekadar ajang silaturahmi. Perlu menjadi ruang kontemplasi, di mana para alumni dan kader HMI Ciputat kembali merenungi akar tradisi berpikir kritis yang selama ini diwarisi.

Selain Fachry Ali, intelektual Muda HMI dan Head of MA Program Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Zezen Zaenal Mutaqin turut menjadi storyteller Mazhab Ciputat.

Zezen Zainal Muttaqin, menekankan pentingnya menjaga independensi dan otonomi akademik dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia. Dia menilai selama kampus masih berada di bawah kendali kekuasaan, mustahil bagi ilmu pengetahuan dan dinamika intelektual untuk tumbuh dan berkembang.

Mengawali pernyataannya, Zezen mengangkat contoh sejarah penting dari dunia pendidikan tinggi global. Dia menyebut Method College yang berdiri pada 1259 di Eropa sebagai institusi yang meniru model universitas Islam seperti Al-Qarawiyyin di Fes, Maroko, yang sudah berdiri ratusan tahun sebelumnya.

“Method College dan Oxford berdiri 300 hingga 400 tahun setelah universitas-universitas Islam seperti Al-Qarawiyyin. Mereka meniru model kampus-kampus di dunia Islam yang saat itu berada di bawah kekhalifahan. Dan satu ciri khas dari model tersebut adalah independensi akademik,” ujar Zezen di hadapan para alumni dan kader HMI.

Menurut Zezen, warisan pendidikan Islam tidak hanya berhenti pada aspek keilmuan, tetapi juga pada tata kelola kampus yang memberikan ruang kebebasan berpikir dan kebebasan akademik. Hal ini, katanya, menjadi faktor kunci kemajuan banyak kampus besar di dunia.

“Kampus-kampus top dunia seperti di Amerika memiliki sistem trust fund yang kuat. Di sana, profesor menjadi profesor bukan karena ditunjuk menteri, tetapi karena penilaian sejawat. Mereka lulus bukan oleh kekuasaan, tapi oleh komunitas akademik. Inilah makna independensi,” jelas Zezen.

Zezen lalu mengajak para kader HMI, khususnya di Ciputat, untuk merenungkan kondisi pendidikan tinggi di Indonesia. Ia menilai bahwa salah satu sebab merosotnya kualitas akademik di berbagai kampus adalah karena tidak adanya otonomi yang sejati.

“Kalau HMI Ciputat ingin kembali keren, dan kampus-kampus kita ingin kembali menjadi pusat keilmuan yang bergengsi, maka ada dua syarat yang mutlak: kampus harus independen dan otonom,” ujarnya.

Lebih jauh, Zezen mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan tidak akan pernah bisa berkembang jika institusi yang mengembangkannya tunduk pada logika kekuasaan.

“Prinsip kekuasaan adalah mencari kuasa dan kepentingan. Sementara prinsip ilmu adalah mencari kebenaran dan pengetahuan. Kalau kampus dikendalikan kekuasaan, maka ia akan terkooptasi dan menyimpang dari tujuannya,” tambahnya.

Zezen juga menyinggung pentingnya menjaga jarak ideal antara kampus dan kekuasaan.

“Tidak boleh terlalu jauh karena bisa teralienasi, tetapi juga tidak boleh terlalu dekat karena akan kehilangan daya kritis dan kebebasannya,” tandasnya. (Sumber)