Bamsoet: Pembahasan RUU Perampasan Aset Harus Menunggu KUHP Baru Diterapkan

Pembahasan Undang-undang perampasan aset dinilai tidak ideal dibahas tanpa lebih dahulu memberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Pendapat itu disampaikan Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo.

Bamsoet mengatakan, jika RUU perampasan aset direalisasikan, harus dilandasi UU dan ketentuan hukum untuk mendukung pelaksanaannya. Sebab, diperlukan mekanisme pengaturan agar pelaksanaan UU perampasan aset koruptor itu tidak menimbulkan masalah baru.

“Misalnya, mungkin saja diperlukan institusi tertentu untuk melaksanakan ketentuan merampas aset hasil korupsi,” ujarnya, Selasa (13/5).

Meski RUU tersebut daftar Prolegnas Prioritas pada 2023, baginya belum bisa dibahas sebelum KUHP baru diberlakukan. Sebagaimana diketahui KUHP baru akan berlaku pada tanggal 1 Januari 2026.

KUHP baru, dinilai dapat meminimalisir potensi abuse of power aparat penegak hukum. Sebab didalamnya ada panduan untuk memberlakukan dan melaksanakan semua peraturan serta prinsip-prinsip yang ada dalam KUHP itu sendiri.

“KUHP baru memuat prinsip-prinsip baru yang sangat reformis, antara lain prinsip keadilan restoratif, prinsip rehabilitatif dan prinsip restitusi,” jelasnya.

Selain itu, lanjutnya, KUHP yang berlaku saat ini masih sangat lemah pada aspek melindungi setiap orang yang bermasalah dengan hukum. Selain itu, juga membatasi peran advokat selaku pihak yang membela hak dan kepentingan orang yang bermasalah dengan hukum.

Itu sebabnya, KUHP yang berlaku saat ini dinilai masih memberi kesempatan untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum. “Sangat besar kemungkinan bahwa UU Perampasan Aset akan dijadikan alat untuk melakukan pemerasan oleh aparat penegak hukum, jika KUHP baru belum disahkan,” terangnya.

Dia mencontohkan, masih banyak kasus penyelewengan oleh aparat. Pada Desember 2024 misalnya, Pengadilan Tipikor Jakarta menetapkan vonis kepada 15 terdakwa yang berstatus pegawai Rutan KPK. Mereka didakwa melakukan pemerasan yang akumulasinya mencapai RP 6,3 miliar.

“Peluang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan pun sangat terbuka ketika oknum petugas diberi wewenang merampas aset koruptor,” kata dia.

Dalam proses menghitung besaran aset yang akan ditarik negara, setidaknya terbuka peluang untuk kompromi tentang perhitungan besar-kecilnya aset yang akan dirampas negara. Kalau oknum petugas bersedia memperkecil nilai aset yang akan ditarik negara, kesediaan itu tentu saja tidak gratis.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto disebut akan tetap menempuh jalur pembahasan Undang-undang dengan DPR. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi memastikan belum ada rencana menerbitkan Perppu untuk mempercepat.

“Kalau pertanyaannya apakah dipertimbangkan perppu untuk sampai hari ini belum,” ujarnya.

Presiden memilih untuk berkomunikasi dengan pimpinan partai. Sehingga pembahasan bisa dilakukan di DPR.

Pras memastikan, Prabowo sangat serius untuk menggolkan RUU perampasan aset ini. “Pada saat Mayday juga beliau menyampaikan hal tersebut,” terangnya.

Baginya, komitmen itu tidak aneh. Sebab memang menjadi salah satu asta cita pemerintahan Prabowo-Gibran adalah mengenai pemberantasan korupsi. “Ini kan turunannya, kira-kira kan begitu,” kata dia.(Sumber)