Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menilai dengan segala pernyataan kontroversial dari Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, sudah seharusnya Presiden Prabowo Subianto mencopotnya.
Ia menyebut setidaknya ada dua hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan presiden, yakni pernyataan yang kontroversial dan pendekatan otoriter terhadap profesi kedokteran.
“Menkes Budi melakukan beberapa pernyataan kontroversial. Contohnya, orang dengan gaji Rp15 juta lebih pintar dan sehat daripada yang Rp5 juta. Pernyataan ini sangat konyol dan tidak ada dasar ilmiahnya. Pernyataan semacam ini tak seharusnya dilontarkan seorang menkes,” tutur Jamiluddin dalam keterangan yang diterima inilah.com di Jakarta, Rabu (21/5/2025).
Selain itu, Menkes Budi juga baru-baru menyatakan pria dengan ukuran celana 33-34 lebih cepat menghadap Allah. Tentu pernyataan seperti ini juga tidak ada dasar ilmiahnya.
Menurutnya, soal umur bukan urusan manusia sehingga tidak pantas bagi Menkes Budi untuk memprediksi umur seseorang.
“Bahkan Budi Gunadi juga menyatakan dokter umum akan diberi izin lakukan operasi caesar. Pernyataan ini terkesan memberi kemudahan kepada dokter umum untuk melakukan operasi caesar. Padahal kualifikasi skill dokter umum untuk melakukan operasi caesar belum cukup,” ujarnya.
Ia menyebut, dengan berbagai pernyataan kontroversial Menkes Budi tersebut justru bukan menenangkan masyarakat, namun membuat publik merasa terganggu.
“Jadi, semua indikasi itu kiranya sudah cukup bagi Prabowo untuk memecat Budi Gunadi. Budi Gunadi sudah tak layak lagi menjadi menkes. Kalau tetap dipertahankan, Budi Gunadi justru akan menjadi beban presiden. Karena itu, mengganti Budi Gunadi menjadi keputusan bijak demi kemajuan kesehatan di tanah air,” tegasnya.
Selain itu, Jamiluddin juga menyoroti sebanyak 357 guru besar dari berbagai fakultas kedokteran di Indonesia yang menyatakan keprihatinan terhadap kebijakan dan tata kelola kesehatan nasional. Penilaian para guru besar itu, kata dia, tentu jauh dari kepentingan politik. Mereka menyatakan keprihatinan tentu sudah melalui kajian mendalam dan objektif.
“Menkes Budi dinilai melakukan pendekatan otoriter terhadap profesi kedokteran. Para guru besar itu menilai terancamnya kualitas pendidikan spesialis, kompetensi dokter umum, dan kebijakan hospital based di rumah sakit vertikal menjadi biang tidak becusnya Budi Gunadi,” jelas Jamiluddin.
Bahkan, lanjutnya, kebijakan yang diambil dinilai mengancam independensi profesi, khususnya terkait perebutan kendali atas kolegium yang selama ini di bawah organisasi profesi.
Padahal otonomi profesi menjadi hak fundamental profesi. Bahkan kedokteran di seluruh dunia memiliki hak untuk mengatur dirinya sendiri melalui organisasi profesi independen.
Apalagi Kolegium menjadi jantung standar kompetensi. Karena itu, Jamiluddin menyatakan kolegium harus tetap independen dari intervensi politik. Kolegium harus tetap berada di bawah organisasi profesi untuk menjamin objektivitas standar pendidikan, khususnya kedokteran.
“Jadi, sungguh logis bila terjadi penolakan pengambilan Kolegium dari organisasi profesi ke Kemenkes sebagaimana diindikasikan dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Penolakan itu semata demi kemajuan dan kualitas dokter di tanah air,” paparnya.(Sumber)