Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti (Usakti), Abdul Ficar Hadjar menilai, kebocoran subsidi pupuk sebesar Rp2,83 triliun yang menyeret PT Pupuk Indonesia (Persero), temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), layak menjadi barang bukti untuk ditindaklanjuti aparat penegak hukum (APH), yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dia bilang, langkah pendalaman penting untuk dijalankan KPK atau aparat penegak hukum lainnya, guna menemukan indikasi tindak pidana korupsi dengan unsur kerugian negara. “Bisa (diusut oleh KPK), karena temuan BPK salah satunya adalah identifikasi kerugian negara,” kata Ficar saat dihubungi Inilah.com, Kamis (29/5/2025).
Ficar menjelaskan, kebijakan PT Pupuk Indonesia yang menyebabkan pemborosan belanja pupuk bersubsidi, perlu didalami lebih lanjut. Terutama untuk menilai, apakah kebijakan tersebut menguntungkan pihak tertentu, atau pribadi.
Namun, jika kebijakan itu dibuat sesuai prosedur dan menguntungkan masyarakat luas, maka sulit menilainya sebagai kebijakan yang mengandung unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Oleh karena itu, menurut Ficar, apabila ditemukan indikasi tindak pidana korupsi, misalnya Direktur Utama dan Direktur Pemasaran melakukan penyelewengan kekuasaan yang mengakibatkan kerugian negara, atau menguntungkan pribadi atau pihak tertentu, maka hal tersebut dapat diproses secara hukum.
“Tanggung jawab pidana itu ada pada pelaku langsung, atau pada pihak lain (yang punya kewenangan) yang memerintahkan, dan perintahnya bertentangan atau tidak sesuai dengan kewajibannya serta merugikan negara. Meskipun akibatnya sistemik, jika ditemukan ada pihak yang diuntungkan, bisa diteruskan ke penindakan hukum,” beber Ficar.
Mengingatkan saja, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II-2024 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut adanya pemborosan belanja subsidi pupuk selama 2020 hingga 2022, senilai Rp2,92 triliun.
Di mana, sebesar Rp2,83 triliun dari pemborosan itu, menyeret PT Pupuk Indonesia, terkait pengalokasian pupuk urea bersubsidi yang sangat dinantikan petani.
“Di antaranya sebesar Rp2,83 triliun, karena pengalokasian pupuk urea bersubsidi oleh PT Pupuk Indonesia, belum sepenuhnya mempertimbangkan kapasitas produksi operasional masing-masing anak perusahaan produsen pupuk,” tulis BPK, dikutip Rabu (28/5/2025).
Dalam temuan itu, BPK melihat ada sesuatu yang ganjil. Misalnya, kebijakan alokasi produksi pupuk bersubsidi. malah diserahkan ke produsen dengan biaya produksi termahal. Sedangkan produsen dengan biaya produksi terendah malah diprioritaskan untuk produksi pupuk nonsubsidi.
BPK juga membeberkan, hasil perbandingan antara alokasi pada kontrak dengan rata-rata tertimbang kapasitas operasional menunjukkan bahwa pembagian alokasi produksi pupuk bersubsidi belum sepenuhnya mempertimbangkan kapasitas produksi masing-masing produsen pupuk.
Selanjutnya, auditor pelat merah itu, merekomendasikan Dewan Komisaris PT Pupuk Indonesia untuk memberikan peringatan dan arahan kepada Direktur Utama dan Direktur Pemasaran PT Pupuk Indonesia yang jelas-jelas tidak cermat, melanggar tata kelola yang sehat, dan kurang mempertimbangkan efisiensi dalam penetapan alokasi pupuk bersubsidi kepada anak perusahaan.
Lalu siapakah yang harus bertanggung jawab? Asal tahu saja, posisi dirut Pupuk Indonesia sepanjang 2020-2022 dijabat Achmad Bakir Pasaman. Sejak Juli 2023, digantikan Rahmat Pribadi. Sedangkan, direktur pemasaran pada periode itu dijabat Gusrizal yang kemudian naik pangkat menjadi wakil dirut.
Menanggapi kabar tak sedap itu, Vice President Komunikasi Korporat PT Pupuk Indonesia (Persero), Cindy Sistyarani menyatakan, perseroan siap menjalankan rekomendasi BPK.
“Sebagai BUMN yang patuh pada aturan keuangan negara, kami akan melaksanakan rekomendasi BPK yang tertuang dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2024,” kata Cindy dalam keterangan tertulisnya kepada Inilah.com, Rabu (28/5/2025).
Selama ini, kata Cindy, Pupuk Indonesia sudah menjalankan langkah-langkah transformasi untuk meningkatkan efisiensi dan pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik. Pihaknya juga telah melakukan digitalisasi, revitalisasi pabrik, dan modernisasi fasilitas produksi untuk memastikan keberlanjutan pabrik.
“Ke depan, Pupuk Indonesia akan semakin mengakselerasi transformasi dan memastikan kebijakan yang dilaksanakan perusahaan menjunjung tinggi prinsip efisiensi dan efektivitas,” ucap Cindy.(Sumber)