Gelombang kritik keras datang dari Komisi X DPR RI terhadap program kampus magang ke luar negeri yang selama ini dijalankan oleh sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
Sorotan tajam dilontarkan oleh Anggota Komisi X DPR RI, I Nyoman Parta, usai mengungkap kasus dugaan penipuan dalam program magang yang menimpa mahasiswa Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) STIKOM Bali.
Dalam pernyataan tegasnya, Nyoman Parta menyebut bahwa program kampus magang yang digagas di era Menteri Pendidikan Nadiem Makarim telah menyimpang jauh dari tujuan pendidikan tinggi dan bahkan menjurus pada praktik eksploitasi.
Program yang awalnya dirancang untuk mengintegrasikan dunia akademik dan dunia kerja, kini justru dijadikan celah oleh oknum kampus dan perusahaan tertentu untuk mengeksploitasi mahasiswa.
Nyoman mencontohkan kasus mahasiswa jurusan komunikasi yang dikirim ke luar negeri, namun malah ditempatkan sebagai pekerja pabrik, pemetik buah, hingga asisten rumah tangga.
“Ini praktik penipuan terselubung. Mereka direkrut dengan janji kuliah sambil magang, tapi realitanya malah dipekerjakan tanpa arah pendidikan yang jelas. Ini sudah menyerupai pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI), bukan program pendidikan,” tegas Nyoman dikutip dari laman DPR, Sabtu 31 Mei 2025.
Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini menjelaskan bahwa permasalahan program kuliah sambil magang yang menyimpang tidak hanya terjadi di Bali, tetapi juga di berbagai daerah lain seperti Sumatera, Sulawesi, dan Jakarta.
Seharusnya magang mendukung bidang studi mahasiswa, namun pada kenyataannya banyak mahasiswa malah dipekerjakan seperti buruh migran, bukan untuk kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan mereka.
“Ini bukan hanya terjadi di Bali. Di Sumatera, Sulawesi, bahkan Jakarta, banyak kampus menjalankan program kuliah sambil magang yang tidak sesuai koridor akademik. Harusnya magang itu nyambung dengan ilmu yang dipelajari mahasiswa. Tapi kenyataannya, banyak mahasiswa justru diperlakukan seperti pekerja migran,” tegasnya.
Dalam kasus STIKOM Bali, sedikitnya tujuh mahasiswa mengadu kepada Nyoman Parta mewakili 22 korban lain.
Mereka mengaku telah membayar antara Rp5 juta hingga Rp17 juta, namun hingga kini tak pernah merasakan ruang kuliah.(Sumber)