News  

Raja Ampat Dirusak Demi Nikel: Jejak Jahat Aguan dan Jongos Oligarki Terendus di Papua!

Aguan (IST)

Keindahan surgawi Raja Ampat yang mendunia kini terancam musnah. Bukan karena bencana alam, tapi oleh kerakusan manusia—lebih tepatnya, oleh oligarki tambang nikel yang jejaknya mengarah ke taipan properti kondang, Aguan, dan para kroninya.

Ahmad Khozinudin, sastrawan politik yang dikenal vokal, mengungkap keterlibatan Aguan dalam tambang nikel yang beroperasi di pulau-pulau kecil Raja Ampat.

“Proyek tambang yang dimaksud dijalankan oleh PT Kawei Sejahtera Mining, sebuah perusahaan yang disebut telah merusak bentang alam Raja Ampat demi kepentingan bisnis nikel yang superprofit,” ungkap Khozinudin kepada Radar Aktual, Selasa (10/6/2025)

Yang mengejutkan, nama-nama besar di belakang perusahaan ini mengarah langsung ke lingkaran dalam Aguan, pemilik Agung Sedayu Group—pengembang proyek elit PIK-2 di pesisir utara Banten.

Di struktur manajemen perusahaan tambang itu, terdapat:

  • Freddy Numberi, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, kini menjabat sebagai Direktur Utama PT Kawei. Ia disebut sebagai “anak buah Aguan”.

  • Nono Sampono, Komisaris Utama perusahaan sekaligus Direktur Utama Agung Sedayu Group—entitas bisnis milik Aguan.

  • Ali Hanafiah Lijaya, komisaris yang dikenal sebagai “perampas tanah rakyat Banten”, juga disebut-sebut sebagai tangan kanan Aguan.

Lengkap sudah. Perusahaan tambang perusak surga Raja Ampat ini dihuni oleh para “jongos” oligarki.

“Udara segar lebih berharga ketimbang uang.”— Sepenggal kutipan video anak Papua yang viral, mencerminkan jeritan masyarakat adat yang tak punya kuasa melawan kekuatan modal.

Khozinudin menyoroti bahwa negara hari ini, di bawah sistem kapitalisme liberal, telah menjelma menjadi pelayan oligarki. Jalan-jalan dibangun di Papua bukan untuk rakyat, tetapi demi melancarkan logistik tambang.

“Rakyat Papua dicekik pajak, nikelnya dijarah, hutannya dirusak, sementara keuntungannya justru mengalir ke kantong Oligarki China,” paparnya.

Menurutnya, sistem demokrasi hanya menempatkan kekuasaan di tangan para pemilik modal. UU dibuat bukan untuk rakyat, tetapi untuk mereka yang mampu membeli kursi dan pengaruh.

Lebih lanjut, Khozinudin menawarkan jalan keluar: mengganti sistem kapitalisme dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, tambang seperti nikel adalah harta milik umum (milkiyatul ‘ammah) yang tidak boleh dikuasai korporasi, melainkan harus dikelola negara demi kesejahteraan rakyat.

“Apakah kita tidak tertarik, untuk mengelola negeri ini dengan Islam?”tanya Khozinudin, sembari mengutip Al-Qur’an surat Al-Ma’idah ayat 50: “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Raja Ampat rusak, rakyat menderita, oligarki tertawa. Sampai kapan negeri ini tunduk pada hukum kapitalisme dan jongos-jongos modal?