Kasmudjo Bantah Pembimbing Skripsi dan Akademik, Beathor: Dugaan Ijazah Bodong Jokowi Makin Menguat

Beathor Suryadi (IST)

Polemik seputar keabsahan ijazah Presiden RI ke-7, Joko Widodo, kembali menjadi sorotan publik setelah pernyataan mengejutkan datang dari seorang dosen senior Universitas Gadjah Mada (UGM), Kasmudjo. Dalam wawancara yang kini viral, Kasmudjo secara tegas membantah bahwa dirinya pernah menjadi pembimbing akademik maupun pembimbing skripsi Jokowi saat menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan UGM.

“Saya bukan pembimbing skripsi. Bukan juga pembimbing akademik,” tegas Kasmudjo dalam pernyataan yang dikutip dari sebuah wawancara bersama ahli digital forensik Rismon Sianipar.

Pernyataan ini langsung memicu gelombang reaksi, salah satunya dari mantan aktivis 1998 yang kini menjadi politikus senior PDI Perjuangan, Beathor Suryadi. Ia menyebut bahwa pengakuan Kasmudjo tersebut justru memperkuat dugaan bahwa ijazah Jokowi patut dipertanyakan keabsahannya.

“Ini bukan lagi soal asumsi liar. Fakta-fakta kecil seperti ini semakin menyusun puzzle besar bahwa ada yang tidak beres dengan narasi akademik Jokowi di UGM. Kalau dosen seniornya saja mengaku tidak pernah membimbing, lalu siapa yang membimbing Jokowi?” tegas Beathor dalam pernyataannya kepada Radar Aktual, Senin (16/6/2025).

Selama ini, riwayat pendidikan Jokowi di UGM—khususnya di Fakultas Kehutanan angkatan 1980—selalu dijadikan rujukan untuk menunjukkan kesederhanaan dan kerja kerasnya sejak muda. Namun, dengan munculnya bantahan dari Kasmudjo, narasi tersebut mulai mendapat keretakan serius.

Sebelumnya, dalam beberapa biografi resmi, disebutkan bahwa Jokowi menyelesaikan skripsinya dengan judul “Studi tentang Pola Konsumsi Kayu Lapuk di Hutan Tropis” dan dinyatakan lulus pada tahun 1985. Namun, dokumen-dokumen pendukung, seperti lembar pengesahan, nama dosen pembimbing, hingga sidang akhir, hingga kini tidak pernah dipublikasikan secara lengkap ke ruang publik.

“Kenapa dalam kasus mahasiswa biasa, semua berkas dan jejak akademik bisa diverifikasi, tetapi untuk seorang tokoh sebesar Jokowi, semuanya menjadi kabur? Ini harus dijawab oleh UGM,” ujar Beathor.

Universitas Gadjah Mada sendiri hingga berita ini ditulis belum memberikan klarifikasi resmi atas bantahan Kasmudjo. Pihak Humas UGM hanya menyampaikan bahwa semua dokumen akademik mahasiswa bersifat rahasia dan dilindungi oleh Undang-undang.

Namun, para pengkritik menilai, dalih tersebut tidak bisa diterima begitu saja dalam konteks figur publik sekelas Presiden. Bahkan, muncul desakan agar UGM membuka arsip dan memfasilitasi audit independen untuk memverifikasi seluruh data akademik Jokowi.

“Kalau tidak ada yang disembunyikan, seharusnya UGM bersikap terbuka. Ini bukan lagi soal privasi, tapi soal integritas seorang pemimpin nasional,” kata Damai Hari Lubis, pengamat hukum tata negara.

Tidak dapat dipungkiri bahwa isu ini memiliki dimensi politik yang tajam. Terlebih, Beathor Suryadi adalah tokoh PDIP yang belakangan justru lantang mengkritik mantan kadernya sendiri, Joko Widodo. Hal ini dinilai sebagian kalangan sebagai cerminan keretakan internal di tubuh PDIP pasca-pemilu 2024.

Namun bagi Beathor, ini bukan sekadar urusan politik, melainkan soal kejujuran publik.

“Bayangkan kalau benar seorang presiden pernah mencalonkan diri dengan ijazah yang tidak valid. Ini bisa masuk kategori pemalsuan dokumen negara dan pelanggaran serius terhadap UU Pemilu,” ujarnya.

Beathor bahkan mendorong agar Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga Mahkamah Konstitusi (MK) membuka penyelidikan terhadap dokumen pencalonan Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019.

“Kita tidak boleh mengabaikan ini hanya karena beliau sudah tidak menjabat. Justru di saat transisi seperti ini, waktu yang tepat untuk mengaudit warisan kepemimpinan sebelumnya, termasuk dari sisi legalitas pribadi,” ujar Beathor.

Kasmudjo mungkin hanya satu dari sekian banyak dosen di Fakultas Kehutanan UGM. Namun pernyataannya cukup untuk memantik kembali bara keraguan yang selama ini disimpan dalam sunyi. Jika UGM tidak segera bertindak, bukan hanya reputasi Jokowi yang dipertaruhkan, tetapi juga kredibilitas lembaga pendidikan tertua di Indonesia itu sendiri.

Dalam situasi seperti ini, transparansi bukan lagi sekadar etika akademik. Ia menjadi tuntutan publik yang tidak bisa ditawar-tawar. Karena kejujuran dan keterbukaan adalah fondasi utama dari republik yang sehat.