Sekjen Partai Golkar Sarmuji mengatakan pihaknya tengah menunggu kepastian dari pemerintah terkait pelaksanaan atas putusan MK soal pemisahan pemilu.
“Eksekusinya ada di pemerintah, karena menyangkut administrasi pemerintahan. Kita menunggu eksekusi dari Pemerintah,” ujar Sarmuji kepada inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (5/7/2025).
Lebih lanjut, mantan ketua DPD Golkar Jatim ini menilai bahwa tidak ada pilihan lain selain mematuhi putusan tersebut, mengingat status MK sebagai lembaga penafsir UUD yang keputusannya bersifat final dan mengikat.
“Ada dua pertanyaan dasar sebelum membahas putusan MK. Pertama, apakah kita masih sepakat bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat? Kedua, apakah kita masih bersepakat bahwa MK adalah lembaga yang memiliki kewenangan memberi tafsir UUD dan karenanya berhak menyatakan suatu aturan sesuai atau tidak sesuai dengan UUD,” urai Sarmuji.
Ketua Fraksi Golkar DPR RI itu menambahkan, jika kedua poin tersebut disepakati, tidak akan ada celah untuk tidak mengikuti putusan MK.
“Kalau seluruh pihak masih bersepakat dengan dua hal itu, maka tentu tak ada pilihan lain selain mengikuti putusan tersebut,” tandasnya.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:
“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”.(Sumber)