Tekno  

TikTok Bikin Remaja Emas Indonesia Brain Rot: Susah Konsentrasi, Sulit Tidur dan Gampang Cemas

Istilah “brain rot” resmi dinobatkan sebagai Oxford Word of the Year 2024. Meski awalnya dianggap sebagai lelucon di kalangan Gen Z, istilah ini kini menjadi penanda kegelisahan global: penurunan daya berpikir akibat konsumsi konten digital dangkal yang terus-menerus.

Di Indonesia, fenomena ini tidak sekadar tren bahasa. Ia nyata memengaruhi fokus belajar, kesehatan mental, hingga kualitas hidup digital anak muda hingga balita.

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Fajar Riza Ul Haq, memperingatkan bahaya serius fenomena ‘brain rot’ pada anak usia dini.

“Sebanyak 33,4 persen anak usia 0–6 tahun telah terbiasa menggunakan gawai, bahkan 25 persen di antaranya berada di usia 0–4 tahun. Ini bukan angka kecil. Ini gejala tsunami digital yang menyerang pondasi awal perkembangan anak-anak kita,” ujar Fajar dalam pertanyaannya dikutip, Senin (30/6).

Tak Lagi Cuma ‘Meme’

Oxford University Press mencatat lonjakan drastis penggunaan kata “brain rot” dalam dua tahun terakhir, seiring meledaknya konten absurd di TikTok dan Instagram. Di Indonesia, istilah ini sering digunakan untuk menyebut kondisi seseorang yang terlalu lama menonton video pendek yang lucu tapi tidak memberi nilai tambah.

“Konten TikTok… cepat dan tanpa tujuan, jika dibandingkan dengan interaksi ringan namun sering yang dulu kita temui di media sosial lama,” kata Cal Newport, profesor Ilmu Komputer di Georgetown University, dalam kolom “Infinite Scroll”, The New Yorker.

Ia juga menyebut brain rot sebagai gejala ‘post-literasi’, di mana gawai menggantikan fungsi perenungan dan pembacaan mendalam.

Efek pada Fokus dan Sekolah

Dampak paling kentara dari brain rot terjadi di lingkungan pendidikan. Menurut survei kecil yang dilakukan oleh guru Bimbingan Konseling (BK) di SMK swasta di Jakarta Timur, 7 dari 10 siswa mengaku sulit konsentrasi belajar karena kebiasaan menonton video scrolling sebelum tidur.

“Beberapa siswa datang ke ruang BK mengeluh sulit tidur, gampang cemas, atau cepat bosan saat belajar,” ungkap Reni Marlina, guru BK di SMK kawasan Jakarta Timur. “Saat ditanya, mayoritas bilang mereka tidak kuat berhenti scroll TikTok meski tahu besoknya ujian.”

Gangguan Mental dalam Balutan Lelucon

Menurut Psikolog IPB University, Nur Islamiah istilah brain rot mengacu pada penurunan kemampuan berpikir dan kelelahan mental, terutama pada remaja dan dewasa muda:

“Brain rot merupakan penurunan kemampuan berpikir dan kelelahan mental yang dialami seseorang, terutama remaja dan dewasa muda.”

“Fenomena ini sering dibungkus dalam humor. Tapi di baliknya, banyak remaja menyimpan stres, kelelahan mental, dan disorientasi makna hidup,”   “Fenomena doomscrolling dan konten absurd justru memperparah derealisasi—rasa hidup yang seperti tidak nyata,” ungkapnya.

Suara dari Dunia Internasional

Fenomena ini bukan milik Indonesia saja. Cal Newport lebih lanjut menyoroti bagaimana teknologi memperparah fragmentasi perhatian.

“Dunia digital modern membuat otak kita bekerja dalam potongan pendek, bukan fokus panjang. Kalau dibiarkan, ini akan membentuk generasi yang cerdas tapi gelisah,” kata Newport dalam wawancaranya di The New Yorker.

Sementara itu, Dame Rachel de Souza, Komisioner Anak Nasional Inggris, menyebut brain rot sebagai bentuk baru kecanduan:

“Kami melihat peningkatan tajam dalam kecemasan dan kesepian di kalangan remaja. Mereka tidak hanya kecanduan media sosial, tapi juga kehilangan rasa terhubung secara nyata.”

Apa yang Bisa Dilakukan?

Beberapa sekolah dan guru mulai mengambil inisiatif:

Jam gadget dikurangi di sekolah.

Program literasi digital mulai digencarkan, bekerja sama dengan komunitas seperti Siberkreasi.

Beberapa orang tua ikut menerapkan “no screen after 9 PM” sebagai aturan rumah.

Menurut Hardika Dwi Hermawan, Dosen Pendidikan Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Indonesia perlu merumuskan pendekatan edukatif yang tidak hanya melarang, tapi juga membentuk kesadaran kritis terhadap konten.

“Kita perlu memiliki kesadaran diri untuk memilih konten yang bisa merangsang pemikiran kritis kita dan memberikan manfaat positif,” katanya.

“brain rot” bukan sekadar tren bahasa anak muda. Ia adalah cermin dari keletihan kolektif, perhatian yang terbagi, dan kualitas hidup digital yang perlu ditata ulang. Di tengah gempuran algoritma dan video pendek yang memanjakan dopamine, generasi muda butuh panduan, bukan sekadar teguran.

Menurut Wamendikdasmen, penyelesaian persoalan ini tidak bisa hanya mengandalkan sekolah atau satuan PAUD. Ia mengajak fasilitator PAUD HI menjadi aktor perubahan yang mampu menyampaikan pesan literasi digital kepada orang tua, pendidik, dan masyarakat luas.

“Jika kita ingin membentuk generasi emas 2045, kita tidak bisa membiarkan otak mereka tumpul sejak kecil karena kelalaian kita hari ini,” katanya.(Sumber)