PKB: Hati-Hati, Jangan Gegabah Bicara Desa Fiktif

Ilustrasi Desa Fiktif

Polemik tentang dugaan adanya desa fiktif yang dilontarkan oleh Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani dalam rapat kerja evaluasi kinerja 2019 dan rencana kerja 2020 bersama Komisi XI DPR RI beberapa waktu lalu perlu disikapi secara hati-hati.

Sebab, jika gegabah dapat menimbulkan ketersinggungan antara pemerintah pusat dan daerah. Demikian dijelaskan Sekretaris Bidang Pemberdayaan Desa dan Pertanahan DPP PKB, Zainul Munasichin.

Menurut Zainul, pembentukan sebuah desa persyaratannya sangat ketat dan tidak mudah. Syarat itu antar lain, harus dimusyawarahkan dan disetujui oleh desa induk, memiliki batas wilayah yang jelas, memiliki jumlah penduduk minimum dan lain-lain.

Secara perosedural, usulan desa baru harus disahkan melalui Peraturan Daerah dimana pembahasannya dilakukan bersama oleh Bupati dan DPRD Kabupaten. Dan, semua desa mendapatkan kode khusus dari pemerintah.

“Saya kira tidak ada Bupati dan DPRD di kabupaten yang berani mempertaruhkan diri untuk mengesahkan sebuah desa fiktif?, satu desa saja terima satu miliar, kalau ada 5 desa saja sudah lima miliar pertahun dikali lima tahun 25 miliar,” ucap Zainul Munasichin. 

“Memangnya BPK gak periksa? Kejaksaan gak periksa? Angka segitu pasti sudah jadi temuan. Jadi hati-hati kita bicara desa fiktif,” tegasnya lagi saat berikan keterangan di Jakarta, Rabu 6 November 2019.

Zainul melanjutkan, jika yang dimaksud oleh Sri Mulyani desa fiktif adalah desa yang sudah pernah ada, tapi kemudian dalam perjalanannya unsur-unsurnya tidak lagi sesuai kriteria dalam UU Desa, itu bukan desa fiktif.

Contoh, sebuah desa yang penduduknya berkurang drastis atau juga batas-batas wilayahnya berubah karena bencana alam.

Atau desa itu sudah berubah status menjadi kelurahan tapi secara administratif masih tercatat sebagai desa, itu bukan fiktif, itu murni problem tata kelola administrasi pemerintah yang belum tuntas.

Pengertian desa fiktif itu jika wilayahnya tidak ada, penduduknya tidak ada, pemerintahan desanya tidak ada, tapi memiliki kelengkapan administrasi yang cukup sehingga bisa mencairkan dana desa.

Namun, lagi-lagi Zainul tidak yakin itu bisa dilakukan. Sebab, proses pengajuan dana desa memerlukan dokumen berlapis-lapis.

Mulai dari dokumen Musyawarah Desa, Dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa, dokumen RAPBDesa, lembar ACC Camat, lembar verifikasi tim Kabupaten, dan masih banyak lagi.

Penyaluran dana desa juga dilakukan dalam tiga tahap, 20, persen, 40 persen dan 40 persen. Di setiap tahap pencairan, semua kepala desa diharuskan menyerahkan laporan realisasi anggarannya sebagai syarat untuk pencairan tahap berikutnya.

“Melihat persyaratan dan prosesnya yang seperti itu, bahkan untuk sekedar dokumen saja, saya kok ragu itu bisa dilakukan, jika ada yang bisa, wah canggih sekali dia,” ujarnya.

Zainul menyarankan semua pihak untuk duduk bersama mengklarifikasi ini, sebab jika dibiarkan liar, ia khawatir dapat menimbulkan disharmoni antara pemerintah pusat dengan kabupaten/kota dan bisa berimbas ke masyarakat di bawah.

“Jangankan bikin desa fiktif, tapal batas desa bergeser satu meter saja, kalau nggak dibicarakan bisa ribut di bawah,’ pesannya. {radarbangsa}