Korupsi Bakamla, KPK Panggil Politikus Nasdem Ahmad Sahroni

Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengagendakan pemeriksaan terhadap anggota Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, hari ini.

Pria yang karib dikenal sebagai ‘Crazy Rich Tanjung Priok’ itu akan diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap terkait proses pembahasan dan pengesahan anggaran pada Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun 2016 yang menyeret korporasi PT Merial Esa.

“Ahmad Sahroni diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Merial Esa,” kata Plt Jubir KPK, Ali Fikri saat dikonfirmasi wartawan, Jumat (14/2/2020).

Politikus Partai NasDem itu akan diperiksa dalam kapasitasnya sebagai pihak swasta. Sahroni merupakan pengusaha yang menggeluti bisnis transportasi dan telah memiliki beberapa kapal tongkang pengangkut BBM. Kendati demikian, belum diketahui kaitan Sahroni dengan perkara ini.

KPK sendiri telah menetapkan PT Merial Esa (ME) sebagai tersangka korporasi di kasus dugaan suap terkait proses pembahasan dan pengesahan anggaran proyek pada Badan Keamanan Laut (Bakamla).

PT Merial Esa diduga secara bersama-sama atau memberikan serta menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara terkait dengan proses pembahasan dan pengesahan anggaran dalam APBN‎-P tahun 2016 untuk Bakamla.

Dalam perkara ini, Komisaris PT ME, Erwin Sya’af Arief yang sudah ditetapkan tersangka diduga berkomunikasi dengan anggota Komisi I DPR RI‎, Fayakhun Andriadi mengupayakan agar proyek satelit monitoring (satmon) di Bakamla masuk dalam APBN-P 2016.

Erwin menjanjikan fee tambahan untuk Fayakhun Andriadi jika berhasil meloloskan permintaannya. Total commitment fee dalam proyek ini yaitu 7 persen, dimana 1 persennya diperuntukkan Fayakhun Andriadi.

Sebagai realisasi commitment fee, Direktur PT ME, Fahmi Darmawansyah, memberikan uang kepada Fayakhun Andriadi sebesar USD911.480 atau setara sekitar Rp12 miliar yang dikirim secara bertahap sebanyak empat kali melalui rekening di Singapura dan Guangzhou, China.

Atas perbuatannya, PT Merial Esa disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 ‎Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 KUHP. (Okenews)